Ageboy Blog: http://ageboy.blogspot.com/2012/04/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html#ixzz28tv7zoxP memories of history: Historiografi Indonesia Modern

Selasa, 03 April 2012

Historiografi Indonesia Modern



A.    Munculnya Sejarah Historiografi Modern Indonesia (seminar sejarah Indonesia I, 1957-sekarang)
Historiografi yaitu metode atau cara penulisan sejarah. Sedangkan historiografi di Indonesia modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia tradisional, atau masa kolonial atau masa revolusi. Tumbuhnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin.
Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa baru dikembangkan di Indonesia dan Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke 19, setelah itu pengetahuan dan kebudayaan Barat secara sadar diajarkan dan dipelajari di beberapa tempat di Asia Tenggara.[1] Perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan sumber bahan yang sedikit tidak memungkinkan adanya perkembangan historiografi modern maka  tulisan yang dihasilkan orang-orang Eropa pada abad ke-16 sampai ke-19 tidak mempengaruhi penulisan orang-orang Asia khususnya Indonesia.
Perkembangan Historiografi Indonesia modern ditandai dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1957.[2] Kementrian pendidikan mengadakan kongres ini untuk merancang sejarah nasional yang resmi. Pembangunan nasional adalah salah satu tema utama pada tahun 50-an dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini. Seminar itu membicarakan tentang usaha penulisan sejarah nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional diharapkan menjadi alat pemersatu dengan memberikan penjelasan tentang keberadaaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian tentu objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi.
Pada kongres sejarah nasional ini muncul perselisihan pendapat antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Merujuk teori sejarawan asal Arab, Ibn Khaldun (1332-1406), Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat kesadaran nasional.[3] Sodjatmoko berpendapat nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah murni, karena itu ia menjunjung tinggi tanggung jawab perorangan dan semacam universalisme abstrak. Soedjatmoko kalah suara dikarenakan pendekatannya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tahun 1950-an, saat rakyat di Indonesia didorong untuk menjadi orang Indonesia (Taylor 2003).[4] Para sejarawan baru membangun sejarah nasioanl mereka diatas basis kolonial. Meskipun demikian asal usul Indonesia tetap dipancang kuat-kuat pada masa imperialisme Majapahit yang berpusat di Jawa. Kaum intelektual seperti Muh. Hatta, Takdir Alisjahbana, dan para pemuka politik diluar Jawa menentang imperialism majapahit baru yang terpusat di Jawa. [5]
Roeslan Abdul Gani mengemukakan sejarah yang diilhami Marxisme yang menunjukan antithesis antara kekuatan terang dan kekuatan gelap pada akhirnya membuahkan kebebasan bagi rakyat jelata, sementara Hatta menekankan bahwa historiografi sejati indoensia berkaitan dengan wujudnya manusia pancasila. [6]
Ketika menjelang akhir tahun 1950-an upaya untuk membentuk lembaga-lembaga demokrasi dan otonomi daerah mengalami kegagalan akibat nasionalisme otoriter soekarno, Indonesia masih menjadi “ negara tanpa sejarah “ karena niat konstituante 1957 untuk menulis sejarah nasional yang baru tidak terwujud.[7] Menurut Pramodya Ananta Toer yang mempunyai pandangan sama dengan Yamin dan lain-lain beranggapan bahwa meski historiografi Indonesia sebaiknya menggunakan metode modern penulisan sejarah yang  berkembang di barat, tetapi historiografi Indonesia harus membedakan diri dari yang tidak sejalan dengan kepentingan “ nasion indonesia”. [8]
Sementara itu para wakil militer juga ikut serta menulis ulang sejarah  nasional dan memasukannya ke dalam mata pelajaran sejarah. Namun, Nugroho Notosusantolah yang pada tahun 1970-an berhasil melakukan militerisasi historiografi Indonesia, terutama menyoroti peranan militer dalam menjaga keselamatan negara. [9]

Historiografi era Orde Baru
Sesudah dilaksanakan kenferensi sejarah nasional pada tahun 1970, buku sejarah nasional akhirnya terbit pada tahun 1975. Buku enam jilid itu mencakup (1) prasejarah (sebelum tahun Masehi); (2) periode kerajaan kerajaan lama Hindu (0-1600 M); (3) kerajaan-kerajaan islam (1600-1800 M); (4) pemerintahan kolonial abad ke-19; (5) nasionalisme dan akhir pemerintahan kolonial (1900-1942); (6) pendudukan jepang (1942-1945); revolusi (1945-1950;, demokrasi liberal (1950-1959); dan demokrasi terpimpin sampai peristiwa G30S/PKI (1965) – pembunuhan enam jenderal oleh kaum komunis yang membawa Soeharto ke kursi kekuasaan – dan penerbitan Supersemar (1966) – teks dasar pembentukan Orde Baru yang melegitimasi kekuasaan Soeharto. [10]
Historiografi nasional juga menekankan arsip negara (kolonial) sebagai ‘fakta-fakta yang dapat dipercaya’ berbeda dengan historiografi lokal yang dimasukkan kedalam kategori dongeng rakyat.[11] Buku-buku pelajaran sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan kesadaran sejarah dan kesadaran nasional sebagaimana dilihat oleh negara.[12] Sebagian besar sejarawan selama periode orde baru berhasil menghindarkan diri dari fokus kepada negara sebagai penindas dan peranannya dalam penulis dan sejarah nasional dan lokal.[13] Dengan demikian sejarawan professional di Indonesia lebih memusatkan perhatiannya pada topik-topik penelitian yang tidak terlalu peka yang seringkali disponsori pemerintah.

B.     Pengaruh historiografi Kuno dan Historiografi Masa Revolusi terhadap Historiografi Modern
     Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa, baru dapat berkembang di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19, setelah ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat secara sadar diajarkan dan dipelajari di beberapa tempat di Asia Tenggara.[14] Pada abad ke-16 sampai abad ke-19 tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh orang-orang Indonesia tidak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan yang dihasilkan orang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris.
     Pada abad ke-18 penelitian sejarah masih bersifat terbatas yaitu dengan pembentukan Bataviaach Genootschap voor kunsten en Wetenshappen (Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan) di Jakarta tahun 1778. Buku yang diterbitkan pada tahun 1783 yaitu Hystory of Sumatra yang ditulis oleh William Marsden dan buku Hystory of  Java (1817) juga masih belum terlalu menarik orang untuk meneliti sejarah. Kemudian baru pada akhir abad ke-19, dengan dihidupkannya kembali Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan serta dibentuknya Straits Branch of Royal Asiatic pada tahun 1878 kegiatan ilmiah yang sungguh-sungguh mulai terjadi. Pada abad ke-19 tradisi penulisan babad dan sejarah juga masih tetap hidup.[15]
     Pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, terdapat tiga bidang historiografi Asia Tenggara yang berbeda-beda.[16] Tiga bidang historiografi tersebut yaitu:
1.    sejarah kuno, yang tidak dikenal atau kurang dikenal oleh penduduk asli, diungkapkan oleh para fiolog, epigraf, dan para arkeolog. Misalnya N.J. Krom mengenai sejarah kuno Indonesia.
2.    sejarah kolonial, yang mencakup-perdagangan, perang, perjanjian-perjanjian dan adinistrasi orang Eropa, adalah perhatian khusus dari orang-orang Eropa sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian khusus dari orang-orang Eropa sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian-perhatian sarjana-sarjana setempat.
3.     “Periode Tengah” yang berkisar antara empat sampai sepuluh abad sebelum abad ke-19, adalah zaman penulisan sejarah penduduk asli, metode-metode modern bisa digunakan untuk mengatur, menentukan tanggal-tanggal secara tepat, dan malah mengintepretasikan kembali tulisan dari periode-periode itu.

     Sejak merdeka bangsa Indonesia mulai mengambil langkah-langkah baru dalam historiografi yaitu:
1.       Diterbitkannya karya D.G.E. Hall, A Hystory of Southeast Asia, tahun 1955, telah berhasil memantapkan pandangan bahwa seluruh perkembangan sejarah dari jamankuno sampai modern bagi Asia Tenggara adalah suatu unit sejarah yang jelas.[17]
2.      Hasil penelitian J.C.van Leur tentang pel`ayaran niaga di Asia pada masa kuno, telah menimbulkan perdebatan-perdebatan mengenai sifat dan karya-karya orang Eropa mengenai Asia Tenggara. Sebagian kecil dari artikel dan disertasinya telah diterjemahkan oleh W.F. Wertheim, Indonesia Trade and Society: Essay in Asian and Social Economic History, terbit tahun 1960.[18] Sebagai akibatnya Asia Tenggara diberikan tempat khusus dalam konferensi penulisan sejarah Asia di London pada tahun 1956. Hal ini merangsang timbulnya sejumlah karangan mengenai historiografi Indonesia yang dicetuskan dalam Kongres Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957.[19]
3.       Suatu usaha bersama melahirkan pertemuan International Association of Historians of Asia (Perhimpunan International dari Sejarawan Asia) yang berkongres sekali dalam tiga atau empat tahun, dan rupanya akan menjadi wadah bagi sejarawan Asia.[20]

C.     Kecenderungan historiografi modern Indonesia
Historiografi modern mempergunakan metode yang kritis dan menerapkan penghalusan teknik penelitian dan memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan. Secara bertahap berbagai ilmu bantu baru dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari penguasaan bahasa, epigrafi (membaca tulisan kuno), numismatik (mempelajari mata uang kuno), dan arkeologi yang mempelajari permasalahan arsip-arsip. Jadi ketepatan pengujian bahan harus selalu diperhalus dan metode pengumpulan sumber (heuristik) harus dikembangkan.
Pada masa historiografi modern terdapat suatu terobosan baru yaitu munculnya peranan-peranan rakyat kecil (wong cilik) sebagai pelaku sejarah yang bisa dibilang diperopori oleh Prof. Sartono Kartodirjo.[21] Penulisan sejarah selama ini boleh dikatakan didominasi oleh para tokoh-tokoh besar seperti para pahlawan kemerdekaan, ataupun tokoh politik yang berpengaruh. Hal tersebut tentu saja tidak jelek, karena pada masa sekitar kemerdekaan, historiografi dipakai sebagai pemicu rasa nasionalisme ditengah-tengah masyarakat yang baru tumbuh. Oleh karena itu pada masa itu historiografi hanya berisi mengenai biografi dan penulisan tentang tokoh-tokoh besar saja.
Perpindahan pandangan penulisan sejarah yang semula Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris mempengaruhi perkembangan historiografi selanjutnya.[22] Ketika masa penjajahan Belanda historiografi Indonesia memiliki ciri Eropa-sentris yaitu lebih memadang bangsa Eropa sebagai yang paling baik, dan bangsa diluar tersebut adalah tidak baik. Namun dengan adanya perubahan pandangan Indonesia-sentris ini bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebagai bangsa rendahan. Perkembangan yang terlihat pada penulisan sejarah Indonesia adalah kata-kata "pemberontakan" yang dahulu sering ditulis oleh para sejarawan Eropa kini berganti menjadi "perlawanan" atau "perjuangan" hal tersebut logis karena sebagai bangsa yang terjajah tentu saja harus melawan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan.[23] 
Perubahan-perubahan historiografi yang terjadi setelah tahun 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Tren kecenderungan historiografi modern Indonesia dilihat dari 3 kategori yaitu ideologi untuk meperkuat, sejarah pewarisan 1980-1990an yaitu orang-orang yang menuliskan biografi sendiri, dan sejarah ilmiah yang ditulis oleh akademisi. Pada masa historiografi modern banyak buku-buku luar yang disempurnakan dan tokoh-tokoh kecil banyak berperan misalnya pemberontakan petani.

Ciri-ciri Historiografi Modern
Di Indonesia  historiografi modern sedang dikonfrontasikan dengan nasionalisme dan mungkin saja ditujukan kepada kepentingan-kepentingan nasional. Sejarah nasional diutamakan daripada sejarah ilmiah.[24] Suatu generasi baru sekarang sedang menggunakan metode-metode modern dan semakin tinggi saja ketrampilan dan keyakinan mereka tentang ilmu sejarah.[25] Di Indonesia program studi ilmu sejarah mulai bermunculan, termasuk di dalamnya adalah di Universitas Negeri Yogyakarta.



[1] Danar Widiyanta, 2002, Diktat Perkembangan Historiografi Tinjauan Diberbagai Wilayah Dunia”, Yogyakarta: UNY, hal. 6.

[2] Danar Widiyanta, 2010, Diktat Perkembangan Historiografi Modern Indonesia”, Yogyakarta: UNY,  hal. 34.
[3] Bambang purwanto, dkk. 2008.  Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 8.

[4] Ibid., hal. 8.

[5] Ibid., hal. 9.

[6] Ibid., hal. 9.

[7] Ibid., hal. 10.

[8] Ibid., hal. 10.

[9] Ibid., hal. 11.
[10] Ibid., hal. 12.

[11]  Ibid., hal. 14.

[12]  Ibid., hal. 15.

[13]  Ibid., hal. 16.

[14] Danar Widiyanta (2002), op.cid., hal. 5.

[15] Ibid., hal. 5.

[16] Ibid., hal. 7.
[17] Ibid. hal.9.

[18] Ibid. hal.9.

[19] Ibid. hal.9.

[20]  Ibid. hal.7.
[21]  Danar Widiyanta (2010), op.cit., hal. 34.

[22]  Ibid., hal.35.

[23]  Ibid., hal.35.

[24] Ibid., hal.10.

[25]  Ibid., hal.10.

2 komentar:

  1. makasih artikel nya , ini sangat membantu dalam pembuatan makalah saya ^^

    BalasHapus
  2. ga bisa di copy, hmmm sama aja

    BalasHapus