BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Timbulnya
pergerakan wanita merupakan realisasi dari cita-cita Kartini yang
memperjuangkan perbaikan kedudukan social wanita. Pada awal pergerakan wanita
soal-soal politik belum menjadi perhatiannya, sedangkan yang mendesak untuk
dipecahkan bagi mereka adalah perbaikan dalam hidup keluarga, perkawinan, dan
mempertinggi kecakapan sebagai seorang wanita.[1]
Awalnya
Kartini hanya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan laki-laki.
Wanita pada saat itu memang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang
bekerja di dapur, sumur dan kasur. Wanita tidak boleh mengenyam pendidikan
seperti yang dapat dinikmati oleh laki-laki. Sehingga wanita sangat tertinggal jauh
dari laki-laki dalam pendidikan dan wawasan. Akhirnya timbul tekad Kartini
untuk memperjuangkan hak-hak wanita agar mampu menyamakan derajatnya dengan
laki-laki.
Setelah
perjuangan Kartini yang membuka sekolah untuk perempuan, perjuangannya
diteruskan oleh Dewi Sartika yang mendirikan organisasi Putri Merdika.
Organisasi tersebut bertujuan untuk memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Dan
timbul organisasi-organisasi di beberapa daerah dengan idiologi yang diusung
masing-masing organisasi. Pergerakan organisasi-organisasi wanita tersebut
memberikan sumbangan yang besar terhadap perjuangan pergerakan nasional.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa saja organisasi
pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional?
b.
Bagaimanakah isi
Kongres Perempuan dan apa tujuannya?
C. Tujuan
a.
Mengetahui apa saja
pergerakan wanita yang ikut berjuang dalam pergerakan nasional.
b.
Memahami isi Kongres
Perempuan dan tujuannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Organisasi Pergerakan
Wanita
Awal
mula adanya perjuangan yang dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A.
kartini. Beliau sangat prihatin dengan keadaan wanita pada masa itu yang
dikekang dengan tradisi dan diperlakukan secara sewenang-wenang. Oleh karena
itu beliau mempunyai suatu gagasan kepada wanita untuk memajukan pendidikannya.
Dengan pendidikan wanita akan mendapatkan suatu pengajaran agar mampu hidup
mandiri dan terhormat. Usaha Kartini adalah membuka sekolah bagi anak-anak
perempuan di pekarangan rumahnya. Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang
menjadi Kepala Sekolah di Kautaman Istri pada tahun 1904. Beliau juga membuka
cabang sekolah Kautaman Istri di berbagai daerah.
Mendapatkan
pendidikan bagi wanita memberikan dampak yang positif, karena mereka menjadi
peka terhadap masalah yang dihadapinya. Sehingga memberikan kesadaran bahwa untuk mengumpulkan pemikiran-pemikiran wanita juga
diperlukan sutu wadah untuk menampungnya. Selain itu juga diperlukan suatu
kerjasama yang lebih luas lagi. Sehingga diperlukan organisasi sendiri bagi
wanita.
Organisasi
wanita yang muncul berdiri sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang
ingin dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih
menitik beratkan kepada perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan
dan keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga
dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan
peningkatan ketrampilan.[2]
Dengan demikian organisasi-organisasi perempuan yang berdiri sebelum tahun 1928
masih berkutat pada masalah domestik yang dihadapi oleh perempuan.
Pada
tahun 1912, atas usaha Budi Utomo berdirilah organisasi Putri Merdika di
Jakarta yang bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Organisasi
Kautaman Istri berdiri di beberapa tempat: di Tasikmalaya (1913), Sumedang dan
Cianjur (1916), Ciamis (1917), dan Cicurug (1918). Latihan untuk memajukan
kecakapan wanita, khusunya kecakapan rumah tangga dikelola oleh perkumpulan
Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito
Hadi di Jeporo (1915). Organisasi ini bertujuan mempererat persaudaraan antara
kaum ibu.[3]
Sedangkan
dalam Jurnal milik Yuliati bahwa organisasi yang berturut-turut muncul adalah “Pawiyatan
Wanito” di Magelang (1915), PIKAT (Percintaan Ibu kepada Anak Temurun) di
Manado (1917), “Purborini” di Tegal (1917), “Wanito Susilo” di Pemalang (1918),
“Wanito Hadi” di Jepara (1919), “Wanito Utomo” dan “Wanita Mulya” di Yogyakarta (1920), sedang Bukittinggi
adalah “Serikat Kaum Ibu Sumatera” (1920). Setelah tahun 1912, mulai banyak
muncul organisasi perempuan yang bersifat keagamaan seperti “Sopo Tresno”
(1914) yang merupakan embrio Aisyah. “Sarikat Siti Fatimah” di Garut sebagai
bagian dari Sarikat Islam, yang tahun 1925 menjadi Sarikat Putri Islam,
menyusul “Aisyah” (1917) yang merupakan seksi perempuan Muhammadiyah di
Yogyakarta. Demikian juga organisasi-organisasi perempuan yang berlatar
Belakang agama Protestan dan Katholik berdiri tahun 1924. Di luar Pulau Jawa,
muncul pula organisasi serupa seperti di Minangkabau, Maluku, dan Minahasa.[4]
Setelah
tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya terutama dalam menjangkau
masyarakat bawah dan tujuan politik
dilakukan bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya. Jumlah
organisasi wanita bertambah banyak, setiap organisasi politik mempunyai bagian
wanita, misalnya Wanudyo Utomo bagian dari Sarekat Islam, kemudian menjadi
Sarekat Perempuan Islam Indonesia.
Bagian
wanita Muhammadiyah adalah Aisyiyah yang tidak mencampuri politik. Dalam hal
poligami, organisasi ini juga menolaknya. Pada tahun 1929 organisasi ini
mempunyai anggota sekitar 5000 dari 47 cabang dan mempunyai 32 sekolah putri. Ina
Tuni, bagian wanita Sarekat Ambon, membantu Sarekat Ambon, khususnya di
kalangan anggota militer Ambon yang berhalauan politik. Di Yogyakarta, tempat
wanita terpelajar, terdapat beberapa organisasi wanita yang tidak hanya belajar
kepandaian khas wanita tetapi mempunyai tujuan tertentu, diantaranya Wanito
Utomo, Wanito Mulyo, Wanito Katholik, dan berdiri Putri Budi Sejati di
Surabanya. Semua organisasi di atas berdiri kiran-kira pada tahun 1920.
B. Kongres Perempuan
Pada
1930-an hampir seluruh perempuan Indonesia tidak dapat membaca dan menulis.
Oleh sebab itu selama kongres 1935, kaum perempuan memutuskan berjuang bersama
melawan buta huruf. Dua puluh tahun kemudian Kementerian Pendidikan NasionaL RI
(Republik Indonesia) dibantu beberapa organisasi perempuan yang secara aktif
memberikan bantuannya bertekad mengatasi masalah itu. Di samping perjuangan
yang panjang dalam memberantas buta huruf, Kementerian Pendidikan juga terus
melanjutkan program pendidikan dasar dan meningkatkan jumlah guru.
Pergerakan
perempuan di Indonesia hanya memiliki sedikit peluang untuk berkembang pada
masa pendudukan Jepang. Satu-satunya organisasi yang diijinkan berjalan adalah
Fujinkai (perkumpulan perempuan). Perkumpulan ini ditujukan untuk memerangi
buta huruf, menjalankan dapur umum, dan ikut serta dalam pekerjaan sosial.
Melalui aktivitas tersebut kaum perempuan Indonesia yang berasal dari kelas
atas dan menengah dapat bergaul lebih dekat dengan kaum perempuan kelas bawah
sekaligus menciptakan ikatan yang kuat diantara mereka. Mereka bersatu untuk
membantu para pejuang kemerdekaan di garis depan. Palang Merah Indonesia juga
dibentuk segera setelah proklamasi kemerdekaan.
Kaum
perempuan mengorganisisr diri membentuk tim perawat dan penghubung, menjalankan
dapur umum, dan klinik berjalan. Perkumpulan perempuan yang populer pada masa
ini adalah Perwani (Persatuan Wanita Negara Indonesia). Atas inisiatif Perwani
cabang Yogyakartayang dipimpin nyonya D.D Susanto, kongres pertama perempuan
setelah proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten dekat Yogyakarta dari
15 sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria Ulfah Santoso dan
Nyonya Kartowiyono.
Pertemuan
selanjutnya yang diadakan di Solo dari 24 sampai 26 Februari 1946 memutuskan
untuk membuat satu organisasi tetap bernama Badan Kongres Wanita Indonesia
(Kowani) yang terdiri dari Perwari dan PII, Persatuan Wanita Kristen Indonesia
dari protestan dan seksi perempuan partai Katolik Indonesia. Kowani mempunyai
hak kuasa untuk membuat keputusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan yang
berada di dalamnya.
Kongres
ke-2 Perempuan Indonesia setelah perang diadakan dari 14-16 Juni 1946 di Madiun
yang memutuskan bahwa mereka akan membantu tentara republik dengan segala cara
untuk melawan Belanda. Merekla akan membentuk dapur umum dan berjuang dan
berjuang di garis depan, dan menangani segala aktivitas semacam ini.
Kongres
Ke-3 Kowani diselenggarakan di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen
Poespita. Kongres ke-4 diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah
kepemimpinan Ny. Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka
pada lima prinsip dasar Pancasila.
Sepanjang
malam 18 Desember 1948 pasukan Belanda melancarkan serangan mendadak terhadap
Indonesia. Yogyakarta sebagai ibukota negara dibuat terkejut dan banyak anggota
pemerintahan Indonesia ditahan. Serangan ini memberi efek buruk terhadap
perkembangan gerakan perempuan. Komunikasi antrar perkumpulan perempuian terancam
putus. Tetapi berkat insiatif dan tekad yang kuat, Kowani tetap
menyelenggarakan konferensi di tengah situasi sulit itu. Konferensi berlangsung
di Yogyakarta dari 26 Agustus- 2 September 1949. Konferensi ini menghasilkan :
a.
Di bidang hukum:
Konstitusi
Republik harus menegaskan secara positif kesetaraan secara hukum dan politik
bagi seluruh penduduk lelaki dan perempuan dan hak setiap penduduk untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak. Undang-undang perburuhan harus melindungi
para pekerja secara umum dan perempuan secara khusus.
b.
Di bidang sosial
Kesehatan
masyarakat harus diperhatikan bantuan kantor konsultasi, poliklinik, dan
institusi bagi perempuan usia lanjut yang diabaikan keluarganya.
c.
Di bidang ekonomi
Koperasi
masyarakat harus dibentuk.
d.
Di bidang pendidikan
Bura
huruf harus diberantas dan memberikan beasiswa kepada anak perempuan.
Suatu komite untuk merayakan ulang tahun
ke-25 pergerakan perempuan dibentuk pada 1953 dibawah kepemimpinan
Mangonsarkoro.[5] Komite
ini bertanggung jawab dalm proses penyuntingan buku peringatan peristiwa
tersebut dan diberi pertanggung jawab mengurus yayasan hari ibu. Nama yayasan
ini dipilih karena kongres 1928 memutuskan bahwa hari ibu seterusnya akan
dirayakan setiap tahun untuk mengenang peristiowa pembukaan kongres pertama
perempuan pada 22 Desember 1928.
Yayasan hari ibu merencanakan mendirikan
pusat kegiatan bagi kaum perempuan di Yogyakarta yang diberi nama Gedung
Persatuan Wanita Indonesia untuk mengenang kongres pertama perempuan di kota
itu.
BAB
III
KESIMPULAN
Organisasi
wanita yang muncul sebelum kemerdekaan memiliki beragam tujuan yang ingin
dicapai. Organisasi perempuan yang berkembang sebelum tahun 1928 lebih menitik
beratkan kepada perbaikan kedudukan social perempuan dalam perkawinan dan
keluarga, serta meningkatkan kecakapannya sebagai seorang ibu rumah tangga
dengan jalan meningkatkan pendidikan dan pengajaran yang disertai dengan
peningkatan ketrampilan.
Awal
mula adanya perjuangan yang dilakukan oleh wanita dipelopori oleh R. A.
kartini. Perjuangannya diikuti oleh Dewi Sartika yang menjadi Kepala Sekolah di
Kautaman Istri pada tahun 1904 dan membuka cabang sekolah Kautaman Istri di
berbagai daerah. Setelah tahun 1920 organisasi wanita makin luas orientasinya
terutama dalam menjangkau masyarakat bawah dan tujuan politik dilakukan
bersama-sama organisasi sosial politik pada umumnya. Jumlah organisasi wanita pun
semakin bertambah banyak.
Kongres
pertama perempuan setelah proklamasi kemerdekaan diselenggarakan di Klaten
dekat Yogyakarta dari 15 sampai 17 Deseber 1945 yang diketuai oleh nyonya Maria
Ulfah Santoso dan Nyonya Kartowiyono. Kongres ke-2 Perempuan Indonesia setelah
perang diadakan dari 14-16 Juni 1946 di Madiun yang memutuskan bahwa mereka
akan membantu tentara republik dengan segala cara untuk melawan Belanda. Kongres
Ke-3 Kowani diselenggarakan di Magelang yang dipimpin oleh Ny. Soenarjo Mangoen
Poespita. Kongres ke-4 diselenggarakan di Solo dari 26-28 Agustus 1948 dibawah
kepemimpinan Ny. Soepeni Poedjoboentoro setuju mendasarkan aktivitans mereka
pada lima prinsip dasar Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Cora Vreede. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Suhartono.
2004. Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Kowani
dalam yuliati, 2010, Organisasi Perempuan dan Perjuangan Nasional Abad ke-20,
diunduh dari fis.um.ac.id/blog/2010/09/06/organisasi-perempuan-dan-perjuangan-nasional-awal-abad-ke-20/
pada tanggal 23 September 2012.
[1]
Suhartono. 2004. Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: Pustaka Pelajar, hal.
102.
[2]
Kowani dalam yuliati, 2010, Organisasi Perempuan dan Perjuangan Nasional Abad
ke-20, diunduh dari fis.um.ac.id/blog/2010/09/06/organisasi-perempuan-dan-perjuangan-nasional-awal-abad-ke-20/
pada tanggal 23 September 2012
[3]
Suhartono op.cit,.
[4] Yuliarti op.cit,.
izin copy ya
BalasHapusmaaf kak, kok tidak bisa di copy kak? izin copy kak
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus