A. Latar
Belakang
Pada
mulanya ada 2 orang pengusaha batik yaitu Ibu Dewi Sukaningsih dan Bapak Hadi
Nugroho yang bersatu membuat usaha batik cap oscar pada awal tahun 1970. Pada mulanya mereka memproduksi
batik untuk dijual, namun seiring waktu batik-batik mereka hanya dibuat untuk
koleksi dan cindera mata pejabat tinggi yang berkunjung kesana.
Pada tahun 1971 batik mulai kesulitan bahan kemudian 2 pengusaha ini mempunyai
ide untuk membuat batik dengan tekhnik baru yaitu tekhnik printing. Teknik printing
merupakan salah satu cara agar produk batik yang dihasilkan merupakan batik
yang baik dan lebih murah. Museum Batik resmi berdiri pada
12 Mei 1975.
Bapak dan Ibu Hadi merupakan 2 orang
yang sangat mencintai budaya batik, walaupun mereka adalah seorang keturunan
China tidak menyurutkan kecintaannya terhadap batik. Namun, anak-anaknya tidak
ada yang mewarisi dan meneruskan usaha batik, mereka lebih memilih untuk
membangun pabrik tekstil nonbatik. Akhirnya, karena sudah tua dan tidak mampu
lagi menjalankan bisnis pabrik batik mereka memutuskan untuk lebih focus dalam
mengumpulkan batik dan barang-barang pendukungnya. Suami istri ini menjadi
kolektor batik dan mendirikan sebuah museum batik.
Museum
Batik yang terletak di Jl. Dr. Sutomo
No. 13 A Yogyakarta ini memiki tujuan yaitu untuk
melestarikan benda budaya, merawat, dan mewariskan nilai-nilai budaya, dan
mendidik generasi muda. Museum ini ingin menyimpan, merawat dan melestarikan
warisan seni budaya yang adhi luhung dalam pengelolaan tradisi berbusana.Seni
batik Indonesia tetap terjaga dengan baik, meskipun proses pembuatan dan mutu
berkembang dari masa ke masa. Museum ini berupaya mewariskan nilai-nilai seni
Batik yang adhi luhung kepada generasi muda Indonesia untuk mampu melestarikan
warisan seni batik bangsa Indonesia.
Menanamkan rasa Handarbeni seni Batik Indonesia sebagai milik bangsa
Indonesia.
B. Koleksi
Museum Batik Yogyakarta
Museum yang memiliki
luas 400 meter persegi ini memiliki koleksi kurang lebih ada 1500 koleksi. Jenis koleksi batik yang terdapat di Museum Batik
Yogyakarta terdiri dari 2 golongan; (1) batik pesisir, dan (2) batik pedalaman.
Batik pesisir merupakan jenis batik yang berasal dari daerah pesisir pantai
utara Jawa khususnya seperti Pekalongan, Indramayu, sampai Ngasem. Motif dari
batik pesisir ini bebas, karena banyak dipengaruhi dari berbagai budaya seperti
China, Jawa, Belanda dan Arab. Orang lebih bisa mengekspresikan bentuk gambar
dan warna pada jenis batik pesisir ini, hal ini dikarenakan sifat dari penduduk
pesisir sendiri yang cenderung dinamis dan terbuka terhadap budaya-budaya yang
masuk. Sedangkan batik pedalaman atau biasanya disebut juga dengan batik keraton
adalah batik yang muncul di kalangan bangsawan kerajaan seperti keraton
Yogyakarta dan Surakarta. Berbeda dengan batik pesisir, motif dari batik
pedalaman lebih monoton dengan warna kayu namun mempunyai filosofi-filososfi
tertentu yang kemudian digunakan dalam ritual-ritual adat atau keagamaan.
Misalnya, batik yang dinamai batik sidomukti,
batik ini digunakan dalam pernikahan kalangan menengah ke atas, dan yang
digunakan kalangan rakyat biasa disebut batik Babon Angrem. Filosofi dalam batik itu adalah semoga pengantin ini
mendapatkan kesejahteraan yang abadi. Sedangkan pada saat pernikahan, orang tua
pengantin biasanya menggunakan batik Trungtum
mangkoro (yang anaknya memakai bati Sidomukti), batik itu mengartikan bahwa
semua orang yang datang pada pesta pernikahan melihat Bapak Ibunya akan mampu
menuntun anaknya ke kehidupan yang baru.
Itu
merupakan contoh kecil tentang jenis batik dan filosofi yang terkandung dalam
gambar batik. Selain itu masih ada banyak sekali jenis dan filosofi yang
menjadi sebuah doa dalam acara-acara ritual tertentu. Batik keratonan juga
merupakan sebuah penunjuk status social masing-masing individu, mungkin dari
kalanga rakyat biasa atau dari trah keraton / bangsawan.
Semua
yang terdapat dalam museum adalah koleksi pribadi dari 5 generasi keluarga
Bapak Hadi. Museum mempunyai kearsipan sendiri untuk koleksinya, arsip terdiri
mulai dari generasi pertama hingga ke 5 ini. Arsip ini dikumpulkan dan terus
djaga agar koleksi tetap terjaga dan terdeteksi.
Koleksi
yang terdapat dalam museum ada sekitar 1500-an, masih ditambah dengan
macam-macam dan akan bertambah terus. Museum ini mempunyai tugas mengambil barang-barang
baru untuk menjadi koleksi. Namun barang baru ini baru akan menjadi benda
museum setelah berumur 50 tahun. Sedangkan benda-benda yang masih dibawah 50
tahun dimasukkan dalam koleksi. Di Museum Batik Yogyakarta ini benda yang
paling muda berusia sekitar 52 tahun (tahun 1960) dan yang paling tua berasal
dari tahun 1730.
Batik Yogyakarta
sendiri memiliki ciri yaitu warnanya cenderung gelap seperti biru tua, hijuau
tua, hitam dan coklat berbeda dengan batik Solo dan batik Pekalongan yang
warnanya lebih cerah. Dahulu tidak sembarang orang boleh memakai kain batik
karena kain batik hanya boleh digunakan oleh kalangan raja. Lalu ada batik
agama Hindu-Budha untuk sembahyangnya di tepi laut yaitu batik Lasem. Batik ganda juga terdapat di museum batik, yaitu batik yang dipakai dalam
dua waktu pagi dan sore dengan motif yang berbeda dengan pola ceplok gringsing.
Juga ada koleksi berupa sarung dari daerah pekalongan dari tahun 1910.
Motif-motif dari koleksi sarung tersebut itu yaitu motif sekar jagat, motif parang
rusak, motif kuwang, dan motif truntung.
Kebaya juga dikoleksi
di museum ini yang berbentuk bordir dari tahun 1947 oleh Ibu Hadinugroho. Dari
koleksi-koleksi itu kebanyakan koleksi kebaya Encin dari pola bunga krawang. Karena pada
tahun 1730 sudah ada batik tapi masih berada dikalangan kerajaan lalu pada
Hamengku Buwono ke-VIII sudah mulai dikenalkan dikalangan masyarakat setempat.
Dia mencatat rekor Indonesia untuk pembuatan sulaman tangan terbesar dan
terpanjang dengan ukuran 90cm × 400cm dengan judul “Penyalipan Tuhan Yesus di
Glogotar”.
Ada pun perbedaan cara
pembuatan batik dari masing-masing daerah. Di Yogyakarta sendiri terdapat empat
langkah dalam pembuatan kain batik tersebut yaitu :
1.
Netel yaitu berfungsi untuk
menghilangkan kotoran dan kanji pabrik yang terdapat pada kain mori yang masih
baru. Kanji menyebabkan mori menjadi kaku dan licin bila sedang disetrika. Cara
untuk menghilangkan kanji tersebut adalah basahi kain ori dengan air sabun yng
terbuaat dari soda abu dan mimyak klenteng atau jarak, lalu diremas-remas agar
zat pewarna dapat meresap dengan baik. Kain yang sudah bersih itu lalu dijemur
sampai kering lalu dimasak dengan air mendidih untuk menghilangkan appretmasa.
2.
Setelah kain selesai dicuci dan direbus
langkah selanjutnya kain kanji yang tipis itu diberi tapioka yang fungsinya
untuk melicinkan dan memegang benang agar tidak bergoyang juga untuk
mempermudah pelepasan lilin klowan dan tembakan.
3.
Ngemplong, proses ini bertujuan untuk
menghaluskan kain yang ingin digambari dengan lilin. Beberapa lembar kain yang
telah dikanji digulung dan dipukul-pukul sampai kainmenjadi halus menggunakan
pukul yang berserat dan landasanya juga terbuat dari kayu. Proses ini tidak
dapat diganti dengan cara disetrika karena tidak akan melemaskan benang-benang
yang lurus.
4.
Ngelowang, yaitu menggambari kain dengan
lilin dengan menggunakan cap atau stempel. Sifat dari lilin yang digunakan
harus cukup kuat dan renyah supaya lilin dapat dilepaskan dengan cara dicoret
karena kain yang diberi lilin ini nantinya akan ditempati oleh warna coklat.
C. Jenis
Museum
Museum Batik merupakan jenis museum tak benda.
Disebut museum budaya tak benda karena mengandung filosofi-filosofi yang
merupakan pengetahuan. Jenis koleksinya pun merupakan barang organic, yaitu
yang berasal dari alam sehingga mudah rusak dan rapuh. Jika merawatnya tidak
bagus maka akan mudah sekali rusak bahkan hilang. Museum jenis ini lainnya
seperti museum tekstil, kertas (perpustakaan), dan museum yang koleksinya
berasal dari bahan seperti kayu dan bagian hewan.
Karena merupakan barang organic merawat batik sangat
sulit, salah satu cara perawatannya adalah menjaga pencahayaan dan suhu ruang
koleksi. Batik tidak boleh terkena cahaya secara etrus menerus, temperatur dan
suhu ruangan harus tetap terjaga dan tidak boleh lebih dari 70. Jika sampai
kurang dari 70 batik akan mudah luntur, rusak dan jelek, sedangkan jika lebih
dari 70 akan rontok. Batik juga tidak boleh berada dalam ruangan ber-AC, karena
kelembabannya akan diserap oleh AC dan akan menyebabkan kerutan.
Perawatan yang tidak mudah mengakibatkan biaya
perawatan yang tidak sedikit pula. Setiap bulan, Museum Batik Yogyakarta ini
menghabiskan kurang labih 5 juta hanya untuk perawatan alias tidak termasuk
penggajian karyawan. Biaya diperoleh dari kunjungan, donatur, dan hotel.
Pengunjung setiap bulan rata-rata berjumlah 70-75
orang, paling ramai biasanya pada hari-hari libur dan rombongan yang berasal
dari kalangan pelajar / mahasiswa yang sedang mengerjakan atau menyelesaikan
tugas.
D. Korelasi dengan pihak luar
Walupun merupakan museum swasta yang dikelola oleh
pribadi, namun Museum Batik Yogyakarta ini mempunyai hubungan yang erat dengan
museum-museum batik di daerah-daerah lain seperti Museum Batik Cirebon,
Surakarta, Jakarta, bahkan museum batik di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat.
Tidak hanya antar museum batik saja, museum Batik Yogyakarta juga berhubungan
dengan museum-museum budaya di seluruh Yogyakarta ataupun di daerah lainnya.
Terbukti dengan keikutsertaannya dalam BARAMUS (Badan Kerjasama Musyawarah
Museum), yaitu suatu bentuk perkumpulan pengelola museum di Yogyakarta.
Organisasi ini sebanding dengan asosiasi, namun karena cakupan wilayahnya lebih
sempit maka hubungan antar museum lebih erat dan dekat. Sama halnya dengan
Asosiasi Permuseuman Jakarta.
Hubungan baik tidak hanya dibangun di antara sesame
museum saja, namun Museum Batik Yogyakarta juga bekerja sama dengan
lembaga-lembaga masyarakat seperti lembaga pendidikan, seperti Universitas
Airlangga, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, dan
sebagainya.
E. Fasilitas
Terdapat beberapa fasilitas yang ditawarkan untuk
semakin membuat pengunjung nyaman berada di museum ini; (1) Ruang pamer /
gallery, yaitu tempat penyimpanan benda-benda museum yang ditata dengan rapi
dan indah, (2) Sorum, yaitu tempat yang biasanya berada di depan sebagai tempat
penyimpanan koleksi dan contoh-contoh batik yang dijual, (3) perpustakaan,
berisi buku-buku yang berkaitan dengan pengetahuan batik, kondisi perpustakaan
dalam Museum Batik Yogyakarta ini memang belum begitu bagus dan buku-buku yang
dipajang juga sedikit karena beberapa buku masih disimpan akibat bencana gempa
Yogyakarta dulu, (4) Ruang Perawatan, (5) Kamar kecil, (6) tempat bermain, dan
(7) Hotel. Selain beberapa fasilitas itu, di dalam Museum Batik Yogyakarta juga
terdapat museum sulaman tangan, museum sulam ini merupakan koleksi pribadi.
Pemilik museum sendiri yang menyulam puluhan lukisan yang terdapat dalam
museum.
Museum Batik Yogyakarta ini juga menawarkan jasa
kursus membatik bagi yang berminat. Kursus ini juga masih di bawah pengelolaan
museum sebagai salah satu misi dari museum dalam pelestarian budaya. Tanggapan
dari masyarakat pun sangat baik, banyak peminat yang belajar di museum ini,
karena itu kursus dibuka setiap hari mulai dari pukul 09.00-14.00 WIB dengan
biaya Rp25.000,00/jam. Seseorang yang Kursus batik disini hanya perlu datang
saja, karena seluruh peralatan dan perlengkapan membatik telah disediakan oleh
pihak museum.
F. Penghargaan
Dalam perjalannya selama 5 generasi, sudah banyak penghargaan
yang didapat oleh museum ini ataupun penghargaan bagi pendiri museum batik
Yogyakarta. Penghargaan ini diberikan atas jasa museum dalam melestarikan
budaya khususnya batik, penghargaan juga diberikan kepada pemilik museum yaitu
Maha Budaya Karya, pernghargaan atas jasanya dalam berkarya di dalam batik
tradisional.
G. Organisasi
Museum Batik Yogyakarta
Ketua
Yayasan : Suharyanto
Kepala
Museum : Suharyanto
Bendahara :
Suhartati
Pengelola : Prayoga
Karyawan
yang terdiri dari 10 orang
H. Pengelolaan
Museum Batik Yogyakarta
Museum Batik Yogyakarta
dikelola oleh Bapak Prayoga. Selain sebagai pengelola beliau juga bertugas
sebagai kurator dan edukator. Di museum batik ini terdapat sebuah ruangan
tersendiri yang berfungsi sebagai pengawetan koleksi-koleksi di museum agar
tetap awet dan terhindar dari jamur. Cara pengawetan koleksi tersebut yaitu
pada tiga bulan sekali koleksi seperti kain batik, kebaya, sarung batik, dll
dimasukkan ke dalam ruangan tersebut dengan diberi ramuan-ramuan dengan adanya
kompor pemanas untuk membakarnya.
Makasih ya infonya, sangat membantu banget ! :)
BalasHapus