Ageboy Blog: http://ageboy.blogspot.com/2012/04/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html#ixzz28tv7zoxP memories of history: Makalah “Pengaruh Perkembangan Pendidikan terhadap Munculnya Pergerakan Nasional”

Senin, 08 Oktober 2012

Makalah “Pengaruh Perkembangan Pendidikan terhadap Munculnya Pergerakan Nasional”


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Politik etis sebagai sebuah polltik balas budi atau politik kehormanatan[2], namun juga tak lepas dari intirk-intrik politik dan tujuan di dalamnya, hal yang awalnya balas budi atau politik kehormatan ternyata tidak sejalan dengan apa yang di buat pada tujuan awal politik tersebut. Terbukti dengan masih adanya suatu keinginan dan kepentingan implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang di buat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk di pindahkan ke daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan untuk mencari keuntungan besar dari kebijakan tersebut seperti di bukanya perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengelolanya dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan Madura, ini adalah sebagai contoh dari realisasi politk etis tersebut.
Namun meskipun ada hal sifatnya keuntungan nemun tetap saja poltik etis tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah Aufklarung (penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul terlihat sinar-sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi, meskipun sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk penduduk kelas bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan fasilitasnya kelas II. Namun bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini karena dampak yang di timbulkan do kemudian hari adalah politik boomerang bagi pemerintahan Belanda, karena membuka pendidikan adalah mempersenjatai para penduduk pribumi yang lebih berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam. Munculnya golongan terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman bagi pemerintahan Belanda, lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga penbentukan Volkskraad adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh poltik etis ini dengan memajukan pendidikan (Edukasi).
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengaruh Politik Ethis terhadap perkembangan pendidikan bangsa Indonesia?
2.      Bagaimana perkembangan pendidikan mempengaruhi munculnya pergerakan nasional?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengaruh Politik Ethis Terhadap Perkembangan Pendidikan Bangsa Indonesia
Politik Ethis pertama kali dicetuskan oleh Van Deventer dalam artikel di sebuah majalah Belanda, De Gids tahun 1899 dengan judul “Hutang Kehormatan”. Di dalam tulisannya itu ia menjelaskan bahwa orang Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya.[1] Oleh karena itu sudah sewajarnya bila kebaikan budi orang Indonesia itu harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui Trias Politica yang terdiri dari: Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Pada tahun 1905 pemerintah kolonial mengeluarkan 2 juta rupiah untuk pembiayaan anak-anak sekolah bumi putra, artinya dari penduduk Jawa yang berjumlah 40 juta hanya mendapat 20 sen seorang dan pada tahun 1918 naik menjadi 40 sen.[2]
Di Padang berdiri sekolah dasar Islam pada tahun 1912, di Padang Panjang berdiri Diniyah School pada tahun 1915 dan Diniyah Putri pada tahun 1921. Pada tahun 1933 jumlah sekolah kaum tua ada 600 dengan 70 ribu murid. Sekolah kaum tua yang mengajarkan agama murni mempunyai 589 sekolahan dengan 9285 murid, sedangkan sekolah pemerintah ada 189 sekolah putra dengan 32286 murid dan 35 sekolah putri dengan 824 murid.[3]
Dibawah J.H. Abendanon pendidikan dengan gaya elitis dapat berjalan dengan baik, hal itu terbukti dengan berdirinya 2 sekolah resmi yang bertujuan meningkatkan jumlah melek huruf, yaitu “sekolah para kepala” yang kemudian dinamakan OSVIA (Opldelingschoolen voor Inlansche Ambtenaren “Sekolah pelatihan pejabat pribumi) dan sekolah dokter Jawa di Walterreden yang kemudian namanya menjadi STOVIA (school tot opdeling van Inlandsche antsen “sekolah untuk pelatihan dokter-dokter pribumi), namun sebagian besar sekolah ini di peruntukkan hanya bagi kalangan bangsawan dan tuan tanah, meskipun kesempatan untuk kalangan menengah dan bawah di buka namun tetap saja sulit. Dengan banyaknya sekolah yang didirikan mengakibatkan semakin banyaknya elit baru yang berpendidikan tinggi.
B.     Munculnya Pergerakan Nasional
Pergerakan nasional lahir dari penderitaan rakyat. Bangsa Indonesia terbelakang disemua bidang. Mereka miskin, ekonominya dikuasai bangsa asing. Orang Indonesiapun hidup dengan biaya sekitar 2,5 sen setiap hari. Di bidang pendidikanpun Indonesia tertinggal, sebagian rakyat masih buta huruf, dan jumlah sekolah lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk. Lagi pula tidak semua orang bebas memasuki sekolah. Rakyat biasa hanya bisa memasuki sekolah rendah pribumi. Murid-murid hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung, setelah tamat mereka diangkat sebagai pegawai rendah dengan gaji yang kecil. Pendidikan yang memakai sistem barat hanya boleh diikuti oleh anak pegawai yang bergaji besar, anak bangsawan, atau anak orang kaya.
Di Pulau Jawa rata-rata dari 1000 orang hanya 15 saja yang dapat membaca dan menulis. Bila perempuan turut dihitung, jumlahnya menjadi 16. Di daerah Madiun dari 1000 orang hanya 24 orang yang tidak buta huruf. Di Jakarta hanya 9 orang, daerah Madura 6 orang, dan daerah Tangerang, Jatinegara, Karawang masing-masing 1 orang.[4] Hasil pencatatan tersebut sungguh memprihatinkan. Keadaan yang demikian tidak dapat dipertahankan lebih lama. Kesejahteraan bangsa akan terhambat oleh keadaan tersebut. Meskipun demikian, hal tersebut tidak lain dari akibat politik penghisapan Belanda yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Keadaan memprihatinkan itu disadari juga oleh para pelajar. Seperti para pelajar Jawa yang pada waktu itu sedang menjalani pendidikan di STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Bumi Putra).  Para pelajar tersebut merupakan orang yang beruntung karena mereka mendapat kesempatan untuk maju. Meskipun demikian, sebagian besar dari rakyat Indonesia masih banyak yang tertinggal.
Oleh karena itu, timbullah hasrat untuk mendirikan suatu perhimpunan pelajar yang bertujuan mempercepat usaha kearah kemajuan rakyat.[5] Mereka adalah orang-orang Indonesia yang mendapat pendidikan Barat. Mereka mempelopori dan memimpin pergerakan nasional. Mereka berjuang di berbagai bidang, ada yang berjuang di bidang politik, ekonomi, maupun di bidang Pendidikan. Tujuan perjuangan itu yakni mencapai kemerdekaan bangsa dan tanah air.
R.A. Kartini (1879) muncul sebagai wanita dengan tekadnya yang kuat untuk maju dalam hal pendidikan. Ia gemar mengumpulkan buku-buku bacaan sehingga meski dalam pingitan dia tetap bisa belajar banyak dari buku-buku atau majalah yang ia kumpulkan. Dari banyak membaca itulah wawasan Kartini makin berkembang dan menguasai banyak ilmu pengetahuan sehingga cita-citanya memperjuangkan hak-hak wanita makin terbuka, dan melalui membaca itu pula R.A Kartini mulai merasa kagum dan tertarik cara berpikir maju yang dimiliki wanita-wanita Eropa kala itu. Hal itu pula yang mendorong keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi semakin kuat, sampai pada akhirnya ia beinisiatif mendirikan taman pendidikan bagi kaum wanita yang diawali dengan mengumpulkan teman-temannya sendiri untuk diajarkan baca tulis dan berpikiran maju dan memiliki ilmu seperti pada umumnya yang dimiliki perempuan-perempuan Eropa saat itu. Untuk mewujudkan impiannya itu kemudian kartini mengumpulkan teman-teman wanitanya kerabat, tetangga dll, untuk diajarkan baca tulis dan sejak saat itu ia mulai memiliki aktivitas dan kesibukan sebagai pengajar. Meski demikian Kartini tetap selalu membaca dan juga menulis untuk menambah wawasan dan pengetahuannya termasuk ia menulis surat surat kepada Mr.J.H Abendanon
Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia yang paling banyak dikenang, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Ki hajar Dewantara adalah tokoh yang punya dedikasi tinggi yang suka membawa spirit kerakyatan. Dia tidak mau menjaga jarak dengan rakyat kecil, meski dia sendiri adalah keturuan dari kaum bangsawan. Bahkan untuk menghilangkan sekat pergaulannya, dia menanggalkan nama ningratnya, Raden mas Suwardi Suryaningrat.
            Pada akhir tahun 1907, dokter pensiunan Wahidin Sudirohusodo mengadakan ceramah berkeliling di depan para pelajar STOVIA tentang cita-citanya untuk mendirikan badan bantuan pendidikan. Tujuannya adalah untuk menolong para pemuda Indonesia agar dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Dengan sendirinya ceramah Dr. Wahidin Sudirohusodo mendapat sambutan hangat dari para pelajar dan cita-cita itu sejalan dengan hasrat para pelajar. Ceramah tersebut dengan sendirinya memperkuat niat mereka untuk segera membentuk suatu perhimpunan.
Ki Hajar Dewantara atau Soewardi Suryaningrat, berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Beliau menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.
            Ada lagi Dr. Soetomo yang pada wakyu berusia 19 tahun segera mencari hubungan dengan pelajar lain yang berada di luar Jakarta. Ia menulis tentang cita-citanyan untuk mendirikan perhimpunan pelajar kepada para pelajar di Yogyakarta, Semarang, dan Magelang. Pada tanggal 20 Mei 1908 terbentuklah organisasi pertama yaitu Budi Utomo.
Masih banyak tokoh-tokoh pelopor yang merupakan penggerak nasional lainnya seperti Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, dll yang kemudian mendirikan suatu sekolah maupun organisasi yang hingga kini eksistensinya masih sangat terjaga. Ada pula yang pemikiran-pemikiran tentang pendidikannya yang nafasnya masih terasa hingga sekarang. Maka dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu yang sangat mempengaruhi pergerakan nasional.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Politik Ethis pertama kali dicetuskan oleh Van Deventer dalam artikel di sebuah majalah Belanda, De Gids tahun 1899 dengan judul “Hutang Kehormatan”. Di dalam tulisannya itu ia menjelaskan bahwa orang Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya. Di dalamnya tercetus Trias Politica yang terdiri dari: Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi. Dari sinilah kemudian banyak didirikan sekolah-sekolah untuk rakyat kemudian melahirkan tokoh-tokoh besar yang menggerakkan pergerakan nasional memerangi pemerintah kolonial. Tokoh-tokoh tersebutb antara lain R.A Kartini yang dengan pemikirannya yang jauh melampaui jamannya saat itu menginginkan pendidikan untuk wanita, Ki Hajar Dewantara, Sang Bapak Pendidikan Nasional yang belajar di STOVIA yang kemudian rela menanggalkan gelar bangsawannya demi menjadi pengajar bagi rakyat jelata karena sadar bahwa pendidikan itu sangatlah penting demi kelangsungan hidup budaya masyarakat Indonesia. Dr Soetomo sang pendiri Organisasi berlandaskan pendidikan pertama di Indonesia, Budi Utomo, Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Slamet Muljana. 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid 1. Yogyakarta: LkiS.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sartono Kartodirdjo.
http://biografi.rumus.web.id/biografi-ki-hajar-dewantara/. Diunduh pada tanggal 21 September 2012



[1] Suhartono, 2001, Sejarah Pergerakan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal, 16.
[2] Ibid., hal, 17.
[3] Ibid., hal, 22.
[4] Slamet Muljana, 2008, Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan Jilid 1, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, hal., 11.
[5] Ibid., hal, 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar