BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Politik etis sebagai sebuah polltik balas budi atau
politik kehormanatan[2],
namun juga tak lepas dari intirk-intrik politik dan tujuan di dalamnya, hal
yang awalnya balas budi atau politik kehormatan ternyata tidak sejalan dengan
apa yang di buat pada tujuan awal politik tersebut. Terbukti dengan masih
adanya suatu keinginan dan kepentingan implisit dalam realisasinya, sebagai
contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang di buat sebagai pemerataan
penduduk Jawa dan Madura untuk di pindahkan ke daerah Sumatra Utara dan Selatan
ternyata masih ada keinginan untuk mencari keuntungan besar dari kebijakan
tersebut seperti di bukanya perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak
tenaga kerja untuk mengelolanya dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan
Madura, ini adalah sebagai contoh dari realisasi politk etis tersebut.
Namun meskipun ada hal sifatnya keuntungan nemun tetap
saja poltik etis tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah
Aufklarung (penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul
terlihat sinar-sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah untuk penduduk
pribumi, meskipun sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk
penduduk kelas bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan fasilitasnya
kelas II. Namun bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini karena dampak
yang di timbulkan do kemudian hari adalah politik boomerang bagi pemerintahan
Belanda, karena membuka pendidikan adalah mempersenjatai para penduduk pribumi
yang lebih berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam. Munculnya
golongan terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman bagi
pemerintahan Belanda, lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga penbentukan Volkskraad
adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh poltik etis ini dengan
memajukan pendidikan (Edukasi).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengaruh Politik Ethis terhadap perkembangan pendidikan bangsa Indonesia?
2.
Bagaimana perkembangan pendidikan mempengaruhi
munculnya pergerakan nasional?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Politik Ethis Terhadap Perkembangan
Pendidikan Bangsa Indonesia
Politik Ethis pertama kali dicetuskan oleh Van
Deventer dalam artikel di sebuah majalah Belanda, De Gids tahun 1899 dengan
judul “Hutang Kehormatan”. Di dalam tulisannya itu ia menjelaskan bahwa orang
Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya.[1]
Oleh karena itu sudah sewajarnya bila kebaikan budi orang Indonesia itu harus
dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui Trias Politica yang terdiri
dari: Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi.
Pengaruh politik etis dalam bidang
pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan
perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari
kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H.
Abendanon (1852-1925)
yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905).
Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi
maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Pada tahun 1905 pemerintah kolonial mengeluarkan 2
juta rupiah untuk pembiayaan anak-anak sekolah bumi putra, artinya dari
penduduk Jawa yang berjumlah 40 juta hanya mendapat 20 sen seorang dan pada
tahun 1918 naik menjadi 40 sen.[2]
Di Padang berdiri sekolah dasar Islam pada tahun 1912,
di Padang Panjang berdiri Diniyah School pada tahun 1915 dan Diniyah Putri pada
tahun 1921. Pada tahun 1933 jumlah sekolah kaum tua ada 600 dengan 70 ribu
murid. Sekolah kaum tua yang mengajarkan agama murni mempunyai 589 sekolahan
dengan 9285 murid, sedangkan sekolah pemerintah ada 189 sekolah putra dengan
32286 murid dan 35 sekolah putri dengan 824 murid.[3]
Dibawah J.H. Abendanon pendidikan dengan gaya elitis
dapat berjalan dengan baik, hal itu terbukti dengan berdirinya 2 sekolah resmi
yang bertujuan meningkatkan jumlah melek huruf, yaitu “sekolah para kepala”
yang kemudian dinamakan OSVIA (Opldelingschoolen voor Inlansche Ambtenaren
“Sekolah pelatihan pejabat pribumi) dan sekolah dokter Jawa di Walterreden
yang kemudian namanya menjadi STOVIA (school tot opdeling van Inlandsche
antsen “sekolah untuk pelatihan dokter-dokter pribumi), namun sebagian besar
sekolah ini di peruntukkan hanya bagi kalangan bangsawan dan tuan tanah,
meskipun kesempatan untuk kalangan menengah dan bawah di buka namun tetap saja
sulit. Dengan
banyaknya sekolah yang didirikan mengakibatkan semakin banyaknya elit baru yang
berpendidikan tinggi.
B. Munculnya Pergerakan Nasional
Pergerakan
nasional lahir dari penderitaan rakyat. Bangsa Indonesia terbelakang
disemua bidang. Mereka miskin, ekonominya dikuasai bangsa asing. Orang
Indonesiapun hidup dengan biaya sekitar 2,5 sen setiap hari. Di bidang pendidikanpun Indonesia tertinggal,
sebagian rakyat masih buta huruf, dan jumlah sekolah lebih sedikit dibandingkan
jumlah penduduk. Lagi pula tidak semua orang bebas memasuki sekolah. Rakyat
biasa hanya bisa memasuki sekolah rendah pribumi. Murid-murid hanya sekedar
membaca, menulis dan berhitung, setelah tamat mereka diangkat sebagai pegawai
rendah dengan gaji yang kecil. Pendidikan yang memakai sistem barat hanya boleh
diikuti oleh anak pegawai yang bergaji besar, anak bangsawan, atau anak orang
kaya.
Di Pulau
Jawa rata-rata dari 1000 orang hanya 15 saja yang dapat membaca dan menulis.
Bila perempuan turut dihitung, jumlahnya menjadi 16. Di daerah Madiun dari 1000
orang hanya 24 orang yang tidak buta huruf. Di Jakarta hanya 9 orang, daerah
Madura 6 orang, dan daerah Tangerang, Jatinegara, Karawang masing-masing 1
orang.[4]
Hasil pencatatan tersebut sungguh memprihatinkan. Keadaan yang demikian tidak
dapat dipertahankan lebih lama. Kesejahteraan bangsa akan terhambat oleh
keadaan tersebut. Meskipun demikian, hal tersebut tidak lain dari akibat
politik penghisapan Belanda yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Keadaan
memprihatinkan itu disadari juga oleh para pelajar. Seperti para pelajar Jawa
yang pada waktu itu sedang menjalani pendidikan di STOVIA (Sekolah Pendidikan
Dokter Bumi Putra). Para pelajar
tersebut merupakan orang yang beruntung karena mereka mendapat kesempatan untuk
maju. Meskipun demikian, sebagian besar dari rakyat Indonesia masih banyak yang
tertinggal.
Oleh karena
itu, timbullah hasrat untuk mendirikan suatu perhimpunan pelajar yang bertujuan
mempercepat usaha kearah kemajuan rakyat.[5]
Mereka adalah orang-orang Indonesia yang mendapat pendidikan Barat.
Mereka mempelopori dan memimpin pergerakan nasional. Mereka berjuang di berbagai
bidang, ada yang berjuang di bidang politik, ekonomi, maupun di bidang
Pendidikan. Tujuan perjuangan itu yakni mencapai kemerdekaan bangsa dan tanah
air.
R.A. Kartini
(1879) muncul sebagai wanita dengan tekadnya yang kuat untuk maju dalam hal
pendidikan. Ia gemar mengumpulkan buku-buku bacaan sehingga meski dalam
pingitan dia tetap bisa belajar banyak dari buku-buku atau majalah yang ia
kumpulkan. Dari banyak membaca itulah wawasan Kartini makin berkembang dan
menguasai banyak ilmu pengetahuan sehingga cita-citanya memperjuangkan hak-hak
wanita makin terbuka, dan melalui membaca itu pula R.A Kartini mulai merasa
kagum dan tertarik cara berpikir maju yang dimiliki wanita-wanita Eropa kala
itu. Hal itu pula yang mendorong keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi
semakin kuat, sampai pada akhirnya ia beinisiatif mendirikan taman pendidikan
bagi kaum wanita yang diawali dengan mengumpulkan teman-temannya sendiri untuk
diajarkan baca tulis dan berpikiran maju dan memiliki ilmu seperti pada umumnya
yang dimiliki perempuan-perempuan Eropa saat itu. Untuk mewujudkan impiannya
itu kemudian kartini mengumpulkan teman-teman wanitanya kerabat, tetangga dll,
untuk diajarkan baca tulis dan sejak saat itu ia mulai memiliki aktivitas dan
kesibukan sebagai pengajar. Meski demikian Kartini tetap selalu membaca dan
juga menulis untuk menambah wawasan dan pengetahuannya termasuk ia menulis
surat surat kepada Mr.J.H Abendanon
Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia
yang paling banyak dikenang, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,
kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari
zaman penjajahan Belanda. Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang
Belanda. Ki hajar Dewantara adalah tokoh yang punya dedikasi tinggi yang suka
membawa spirit kerakyatan. Dia tidak mau menjaga jarak dengan rakyat kecil,
meski dia sendiri adalah keturuan dari kaum bangsawan. Bahkan untuk
menghilangkan sekat pergaulannya, dia menanggalkan nama ningratnya, Raden mas Suwardi Suryaningrat.
Pada
akhir tahun 1907, dokter pensiunan Wahidin Sudirohusodo mengadakan ceramah
berkeliling di depan para pelajar STOVIA tentang cita-citanya untuk mendirikan
badan bantuan pendidikan. Tujuannya adalah untuk menolong para pemuda Indonesia
agar dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Dengan sendirinya ceramah Dr.
Wahidin Sudirohusodo mendapat sambutan hangat dari para pelajar dan cita-cita
itu sejalan dengan hasrat para pelajar. Ceramah tersebut dengan sendirinya
memperkuat niat mereka untuk segera membentuk suatu perhimpunan.
Ki Hajar
Dewantara atau Soewardi Suryaningrat, berasal dari lingkungan keluarga Keraton
Yogyakarta. Beliau menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar
Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera),
tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam
dengan semangat antikolonial.
Ada
lagi Dr. Soetomo yang pada wakyu berusia 19 tahun segera mencari hubungan
dengan pelajar lain yang berada di luar Jakarta. Ia menulis tentang
cita-citanyan untuk mendirikan perhimpunan pelajar kepada para pelajar di
Yogyakarta, Semarang, dan Magelang. Pada tanggal 20 Mei 1908 terbentuklah
organisasi pertama yaitu Budi Utomo.
Masih banyak tokoh-tokoh pelopor yang
merupakan penggerak nasional lainnya seperti Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, dll yang
kemudian mendirikan suatu sekolah maupun organisasi yang hingga kini eksistensinya
masih sangat terjaga. Ada pula yang pemikiran-pemikiran tentang pendidikannya
yang nafasnya masih terasa hingga sekarang. Maka dapat dikatakan bahwa
pendidikan merupakan suatu yang sangat mempengaruhi pergerakan nasional.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Politik
Ethis pertama kali dicetuskan oleh Van Deventer dalam artikel di sebuah majalah
Belanda, De Gids tahun 1899 dengan judul “Hutang Kehormatan”. Di dalam
tulisannya itu ia menjelaskan bahwa orang Indonesia telah berjasa membantu
pemerintah Belanda memulihkan keuangannya. Di dalamnya tercetus Trias Politica
yang terdiri dari: Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi. Dari sinilah kemudian banyak
didirikan sekolah-sekolah untuk rakyat kemudian melahirkan tokoh-tokoh besar
yang menggerakkan pergerakan nasional memerangi pemerintah kolonial.
Tokoh-tokoh tersebutb antara lain R.A Kartini yang dengan pemikirannya yang
jauh melampaui jamannya saat itu menginginkan pendidikan untuk wanita, Ki Hajar
Dewantara, Sang Bapak Pendidikan Nasional yang belajar di STOVIA yang kemudian
rela menanggalkan gelar bangsawannya demi menjadi pengajar bagi rakyat jelata
karena sadar bahwa pendidikan itu sangatlah penting demi kelangsungan hidup
budaya masyarakat Indonesia. Dr Soetomo sang pendiri Organisasi berlandaskan
pendidikan pertama di Indonesia, Budi Utomo, Ahmad Dahlan yang mendirikan
Muhammadiyah, dan lain sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA
Slamet Muljana. 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme
Sampai Kemerdekaan Jilid 1. Yogyakarta: LkiS.
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sartono Kartodirdjo.
http://biografi.rumus.web.id/biografi-ki-hajar-dewantara/. Diunduh pada
tanggal 21 September 2012
http://kolom-biografi.blogspot.com/2011/12/biografi-kh-ahmad-dahlan.html. Diunduh pada
tanggal 21 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar