1. Meurah Mulia dan Hubungan Kekerabatan dengan Samudera Pasai
Meurah Mulia adalah sebuah kecamatan yang terletak di kawasan agak pedalaman, ke arah selatan Aceh Utara. Meurah Mulia merupakan bagian dari anak kerajaan Samudera Pasai (wilayah sagoe) yang sering luput dari perhatian peneliti sejarah. Meurah dalam bahasa Aceh berarti: gajah (pomeurah), dan mulia berarti: ramah, baik, dan luhur. Menurut cerita turun-temurun yang berkembang dalam masyarakat Aceh, konon di kawasan Jungka Gajah dahulu kala ditemukan seekor gajah mati dan peristiwa ini menjadi cikal bakal ibukota kecamatan ini sampai sekarang. Jungka (bahasa Aceh) berarti: kepala atau muka, dan gajah berarti: meurah. Dengan demikian Jungka Gajah mengandung pengertian : kepala atau muka gajah. Maka serasilah antara nama Meurah Mulia dengan ibukotanya Jungka Gajah. (Sumber: ).
Masyarakat Aceh menganggap gajah (meurah) merupakan simbol keperkasaan. Gajah menjadi lambang patriotisme dan ketangkasan. Maka tak heran, jika pada masa kesultanan Aceh dan Kerajaan Samudera Pasai juga dibentuk barisan pasukan tentara bergajah. Dari peristiwa tersebut dapat diprediksikan bahwa Meurah Mulia merupakan bagian yang sangat terkenal dalam mempertahankan dan memajukan kerajaan Samudera Pasai.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa Meurah Mulia menjadi bagian dari kerajaan Samudera Pasai dilihat dari segi geografis, adat istiadat, dan kebudayaan. Dilihat dari segi geografis, Meurah Mulia dengan Samudera merupakan suatu kesatuan wilayah utuh yang tidak dapat dipisahkan. Bukti lain adalah di Meurah Mulia di Gampong Paya Bili juga terdapat kuburan keturunan bangsawan yang layak disebut pahlawan Aceh, bernama Pang Husen. Meurah Mulia juga menjadi pusat perguruan tinggi agama Islam, karena dikawasan Gampong Paya Kambuek merupakan pusat persatuan majelis ulama. Salah seorang keturunan ulama termasyhur dari Meurah Mulia adalah almarhum Tgk. Abdul Jalil bin Hamzah atau Tgk. Samakurok (Tgk. Kurok), seorang ulama kharismatik yang memiliki karamah.
Pada perbatasan antara kecamatan Samudera Geudong dengan Meurah Mulia terdapat sebuah areal kuburan tepatnya di desa Bluek, disitulah Putroe Beutong anak angkat Sultan Malikussaleh dikebumikan (Seperti yang tertulis dalam buku Kronik Hikayat Raja-Raja Pasai). Manuskrip asli Kronik Hikayat Raja-Raja Pasai tersebut hanya ada di meusium sejarah di Belanda satu-satunya saat ini. Pada perbatasan Samudera-Meurah Mulia juga terdapat sebuah desa bernama Blang Peuria. Sejarawan memprediksikan, jika Blang Peuria itu merupakan warisan kepunyaan Mahdum Peuria, cucu Sultan Malikussaleh. Blang (bahasa Aceh): sawah, dan peuria berasal dari nama Mahdum Peuria. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa Blang Peuria berarti sawah milik Mahdum Peuria.
2. Kerajaan Islam Pertama di Indonesia Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama dan tertua di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai atau Samudera Pasee.Masuknya Islam pertama ke Indonesia adalah ditandai dengan berdirinya sebuah kerajaan Islam yang termasyhur namanya sampai saat ini dan terukir dalam buku sejarah peradaban dunia yaitu kerajaan Samudera Pasai.
Bukti ini penulis dapatkan dari hasil petualangan si penjelajah “penemu benua Amerika”, Marcopollo mencatat bahwa ada sebuah kerajaan yang sangat megah dan disegani dikawasan Asia Tenggara waktu itu bernama Samudera Pasai, seperti yang tertulis dalam buku "Aceh Sepanjang Abad" karya Mohammad Said.
Dalam buku "Aceh Sepanjang Abad" (1979:61) Mohammad Said lebih jelas memaparkan bahwa dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang dilangsungkan di Medan pada 17-20 Maret 1963, telah diambil kesimpulan antara lain (a) bahwa Islam masuk untuk pertama kalinya ke Indonesia pada abad 1 Hijriah dan langsung dari Arab, dan (b) bahwa daerah pertama didatangi Islam ialah pesisir Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam maka raja (Muslim) yang pertama berada di Aceh.
Pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh telah berlangsung pula suatu seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Aceh yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Provinsi/Daerah Tingkat I Aceh. Dalam bab kedua kesimpulan dari seminar tersebut yang terpenting diantaranya adalah: Pada abad 1 Hijriah, Islam sudah masuk ke Aceh dan Kerajaan Islam Pertama di Aceh adalah Peureula` (Peureulak), Lamuri, dan Pasai (Mohammad Said, 1979:63) yang disambut oleh Sultan Malikussaleh.
Para sejarawan memprediksikan menurut ilmu bahasa bahwa kata samudera itu berasal dari nama lautan atau selat. Jika kita tinjau dari segi bahasa Melayu lama maupun bahasa Indonesia, samudera itu berarti lautan. Sedangkan Pasai (pasee) berasal dari kata pasie yang berarti: pinggir laut, pantai atau pesisir. Sudah jelas fakta membuktikan bahwa memang benar kerajaan Samudera Pasai berada di kawasan utara Sumatera atau tepatnya di semenanjung selat Malaka. Pasai (Bahasa Aceh) juga dapat diartikan sebagai Pasar, karena banyaknya para pedagang dan saudagar yang singgah di kerajaan Samudera Pasai untuk berniaga kala itu.
Para sejarawan hebat dalam buku-buku menuliskan bahwa masuknya Islam pertama ke Indonesia adalah ke Aceh yaitu di kerajaan Samudera Pasai yang dibawa oleh Syeh Ismail seorang ulama dari Arab. Kemudian Islam tersebar sampai ke pulau Jawa yang dibawa dan diteruskan oleh ulama dari Aceh bernama Maulana Malik Ibrahim. Lalu Islam pun berkembang dengan pesat di pulau Jawa yang ditandai dengan lahirnya para walisongo (wali sembilan). Nab Bahany AS dalam tulisannya “Fatahillah, Putra Aceh Pendiri Kota Jakarta” (Serambi Indonesia: 27 Juni 2010) memaparkan bahwa Fatahillah Pendiri kota Jakarta juga adalah seorang putra Aceh. Ulama dari kerajaan Samudera Pasai yang menyebarkan Islam ke Pulau Jawa. Fatahillah salah seorang pahlawan yang telah berjasa berjuang bersama rakyat untuk merebut kembali Sunda Kelapa dari tangan Portugis.
Para ulama dari Aceh juga yang menyebarkan Islam ke Padang (Minangkabau), Sumatera Barat, dan kebanyakan ulama Padang merupakan alumni pesantren (dayah) Aceh. Setelah sekian lama para ulama Padang menuntut ilmu di Aceh, mereka kembali ke Padang untuk menyebarkan syiar Islam. Untuk selanjutnya para ulama dari Padang ini mengajak beberapa ulama Aceh untuk menyebarkan Islam sampai ke Gorontalo, Sulewesi.(Berita Sejarah Jejak Ulama di RCTI tahun 2007).
Jika anda sekarang ingin melihat jejak kerajaan dan makam raja-raja Samudera Pasai. Anda dapat menempuh perjalanan kira-kira berjarak 3 km ke arah utara kota Samudera Geudong, sebuah kota kecil di Aceh Utara. Pada bulan Maret 2009 peneliti sejarah kerajaan Samudera Pasai Tgk. Taqiyuddin telah menemukan reruntuhan (fondasi) pusat istana kerajaan Samudera Pasai di kawasan desa Beuringen yang sudah ratusan tahun tertimbun tanah. Tgk. Taqiyuddin sebelumnya juga menemukan satu stempel (cap) yang diperkirakan merupakan peninggalan kerajaan Samudera Pasai. Pada bulan April 2009 Tgk. Taqiyuddin juga telah melakukan survei di kawasan desa Mesjid Bluek, Kec. Meurah Mulia (bekas wilayah sagoe Samudera Pasai), dan hasilnya membuktikan bahwa makam Sultan Johor berada di Aceh. Berita tersebut disiarkan oleh harian ternama terbitan Aceh Serambi Indonesia, dan penemuan saksi sejarah tersebut telah menolak pendapat Marcopollo dalam buku Aceh Sepanjang Abad karya Mohammad Said, yang memaparkan bahwa Sultan Johor tewas ditangan Belanda dalam peperangan bersama masyarakat Aceh dan tidak diketahui dimana kuburannnya.
Dengan demikian berarti antara wilayah sagoe Meurah Mulia dengan Samudera Pasai memiliki hubungan yang sangat erat. Meurah Mulia merupakan suatu kesatuan integrasi dari kerajaan Samudera Pasai yang menjadi ujung tombak pertahanan wilayah kekuasaan raja Pasai dengan Pasukan berkenderaan gajah: meurah mulia. Selain Meurah Mulia beberapa wilayah lain yang sangat berperan dalam memajukan kerajaan Pasai. Antara lain Blang Jruen dan Matang Kuli (desa Pirak), di desa tersebut tercatat nama seorang pahlawan nasional Cut Nyak Meutia yang merupakan keturunan darah biru, yang diperkirakan masih satu keturunan dengan sultan Samudera Pasai.
3. Asal Mula Nama Sultan Malikussaleh
Nama asli dari Sultan Malikussaleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai adalah Meurah Silue. Sedangkan Malikussaleh merupakan nama lakap atau nama kehormatan, pangkat atau nama gelar dalam jabatan kerajaan. Malikussaleh berasal dari kata bahasa Arab, yaitu; Malik: raja, saleh: salih, taat, atau baik budi. Jadi, Sultan Malikussaleh berarti raja yang taat dan salih serta sangat mencintai rakyat dan disenangi oleh rakyatnya. Memang demikian alkisah sejarah membuktikan bahwa Sultan Malikussaleh seorang raja yang adil. Di bawah kekuasaannya Samudera Pasai bahkan menguasai sampai ke semenanjung Malaka. Pahang (Malaysia) pernah ditaklukan dan berada dibawah kekuasaan Samudera Pasai. Antara Pahang dan Pasai pernah menjadi sebuah kerajaan yang padu dalam bidang kerjasama bilateral kedua negara. Dari itulah sejarawan memprediksikan bahwa kenyataannya Sultan Johor meninggal dan kuburannya berada di Meurah Mulia, Aceh Utara.
Ketika Pasai berjaya kerjasama yang dijalin dengan negara-negara luar bukan hanya dengan kerajaan jiran saja, tetapi juga dengan negara Turki dan timur tengah. Buktinya, kerja sama bidang kemiliteran Samudera Pasai pernah dipimpin oleh seorang panglima perang yang berasal dari Gujarat. Selain itu, untuk bidang hukum, Pasai banyak mengangkat pakar hukum (qadhi) yang berasal dari Arab.
4. Aceh Dijuluki Serambi Mekkah
Banyak orang bertanya kenapa Aceh disebut Serambi Mekkah ? Kenapa bukan Iran atau Afganistan yang diberi julukan sebagai Serambi Mekkah.
Aceh disebut Serambi Mekkah, karena di Aceh Islam berkembang sangat cepat dan pesat. Jika Mekkah menjadi ruang utama tempatnya syariat Islam ditegakkan, maka Aceh menjadi ruang serambi (seuramoe) bagi perkembangan Islam. Sedangkan indatu (grand father) orang Aceh mengatakan Aceh dijuluki Serambi Mekkah, karena kuatnya Islam di Aceh sama seperti Islam di Arab. Hal itu terbukti dengan terkenalnya para ulama dari Aceh tempo dulu. Banyak ulama Aceh yang berguru dan menuntut ilmu agama Islam ke Mekkah, seperti ulama sekaliber Tgk. Awee Geutah dan Tgk. Abuya Muda Wali dari Labuhan Haji.
Bahkan pada masa kerajaan Aceh Darussalam banyak ulama dari Arab yang bolak-balik dari Arab ke Aceh, dan sebaliknya. Setelah menimba ilmu agama di Arab menuju Aceh untuk menyebarkan Islam. Beberapa nama ulama terkemuka hebat antara lain Syaikh Abdul Rauf (Syiah Kuala) dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniry yang merupakan keturunan ulama yang berasal dari Arab. Aceh juga terkenal dengan ulama dan sastrawan besar seperti Teungku Syiek Pantee Kulu. Dalam konteks ke-Indonesia-an, Aceh merupakan daerah yang bercorak kebudayaan Islam dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan. Aceh juga menjadi gudang para ulama.
Cut Nyak Dhien pahlawan nasional dari Aceh ketika dibuang dan diasingkan oleh Belanda ke Sumedang, Jawa Barat, pernah menjadi guru agama di balai pengajian di sebuah desa kecil di sumedang kala itu. Wanita-wanita Sumedang waktu itu belajar ilmu agama kepada cut Nyak Dhien, yang konon saat itu orang-orang Jawa dan Sunda tidak mengetahui bahwa guru agama tersebut adalah Cut nyak Dhien, pahlawan nasional dari Aceh. Orang Sumedang kala itu memanggilnya Nyi Guru Aceh (Bu Guru Aceh). Setelah 2 tahun Cut Nyak Dhien menjadi guru agama bagi orang Sumedang, Cut Nyak Dhien syahid dan dikebumikan di Sumedang. Itulah keterharuan penulis ketika mengenang Cut Nyak Dhien yang sangat berjasa dalam mengusir penjajah dari negeri tercita,(Berita Sejarah Pahlawan Nasional di RCTI tahun 2006).
Cut nyak Dhien lahir di Aceh Besar, dibesarkan dilingkungan para pahlawan, dewasa dalam peperangan melawan Belanda, kerja bergerilya masuk-keluar hutan dan akhirnya syahid di Sumedang, Jawa Barat. Sosok seorang Ibu yang patut ditiru oleh siapapun. Cut Nyak Dhien seorang Ibu yang Berhati lembut, namun berjiwa baja. Penulis tuliskan sebuah syair (puisi) sebagai hadiah dan doa terindah kepada “Ibuku Yang Anggun Cut Nyak Dhien”
Hamdani, S.Pd. adalah Dosen STAIN Malikussaleh, guru MAN Lhokseumawe, peneliti sejarah dan sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar