A. Munculnya Sejarah Historiografi Modern Indonesia
(seminar sejarah Indonesia I, 1957-sekarang)
Historiografi yaitu metode atau cara
penulisan sejarah. Sedangkan historiografi di Indonesia modern dapat diartikan
sebagai penulisan sejarah indonesia yang lebih modern dari pada historiografi
Indonesia tradisional, atau masa kolonial atau masa revolusi. Tumbuhnya
historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik
dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan
rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin.
Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa
baru dikembangkan di Indonesia dan Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke 19,
setelah itu pengetahuan dan kebudayaan Barat secara sadar diajarkan dan
dipelajari di beberapa tempat di Asia Tenggara.[1]
Perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan
sumber bahan yang sedikit tidak memungkinkan adanya perkembangan historiografi
modern maka tulisan yang dihasilkan
orang-orang Eropa pada abad ke-16 sampai ke-19 tidak mempengaruhi penulisan
orang-orang Asia khususnya Indonesia.
Perkembangan Historiografi Indonesia
modern ditandai dengan diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia di
Yogyakarta pada tahun 1957.[2]
Kementrian pendidikan mengadakan kongres ini untuk merancang sejarah nasional
yang resmi. Pembangunan nasional adalah salah satu tema utama pada tahun 50-an
dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses
ini. Seminar itu membicarakan tentang usaha penulisan sejarah nasional yang
berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional diharapkan menjadi alat
pemersatu dengan memberikan penjelasan tentang keberadaaan bangsa Indonesia melalui
jejak sejarahnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian tentu
objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah
orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi.
Pada kongres sejarah nasional ini muncul
perselisihan pendapat antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Merujuk teori
sejarawan asal Arab, Ibn Khaldun (1332-1406), Yamin berpendapat bahwa
penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat
berguna untuk memperkuat kesadaran nasional.[3]
Sodjatmoko berpendapat nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah murni,
karena itu ia menjunjung tinggi tanggung jawab perorangan dan semacam
universalisme abstrak. Soedjatmoko kalah suara dikarenakan pendekatannya tidak
sesuai dengan kondisi masyarakat tahun 1950-an, saat rakyat di Indonesia
didorong untuk menjadi orang Indonesia (Taylor 2003).[4]
Para sejarawan baru membangun sejarah nasioanl mereka diatas basis kolonial.
Meskipun demikian asal usul Indonesia tetap dipancang kuat-kuat pada masa
imperialisme Majapahit yang berpusat di Jawa. Kaum intelektual seperti Muh.
Hatta, Takdir Alisjahbana, dan para pemuka politik diluar Jawa menentang
imperialism majapahit baru yang terpusat di Jawa. [5]
Roeslan Abdul Gani mengemukakan sejarah
yang diilhami Marxisme yang menunjukan antithesis antara kekuatan terang dan
kekuatan gelap pada akhirnya membuahkan kebebasan bagi rakyat jelata, sementara
Hatta menekankan bahwa historiografi sejati indoensia berkaitan dengan wujudnya
manusia pancasila. [6]
Ketika menjelang akhir tahun 1950-an upaya
untuk membentuk lembaga-lembaga demokrasi dan otonomi daerah mengalami
kegagalan akibat nasionalisme otoriter soekarno, Indonesia masih menjadi “
negara tanpa sejarah “ karena niat konstituante 1957 untuk menulis sejarah
nasional yang baru tidak terwujud.[7]
Menurut Pramodya Ananta Toer yang mempunyai pandangan sama dengan Yamin dan
lain-lain beranggapan bahwa meski historiografi Indonesia sebaiknya menggunakan
metode modern penulisan sejarah yang
berkembang di barat, tetapi historiografi Indonesia harus membedakan
diri dari yang tidak sejalan dengan kepentingan “ nasion indonesia”. [8]
Sementara itu para wakil militer juga
ikut serta menulis ulang sejarah
nasional dan memasukannya ke dalam mata pelajaran sejarah. Namun, Nugroho
Notosusantolah yang pada tahun 1970-an berhasil melakukan militerisasi
historiografi Indonesia, terutama menyoroti peranan militer dalam menjaga
keselamatan negara. [9]
Historiografi
era Orde Baru
Sesudah dilaksanakan kenferensi sejarah
nasional pada tahun 1970, buku sejarah nasional akhirnya terbit pada tahun
1975. Buku enam jilid itu mencakup (1) prasejarah (sebelum tahun Masehi); (2)
periode kerajaan kerajaan lama Hindu (0-1600 M); (3) kerajaan-kerajaan islam
(1600-1800 M); (4) pemerintahan kolonial abad ke-19; (5) nasionalisme dan akhir
pemerintahan kolonial (1900-1942); (6) pendudukan jepang (1942-1945); revolusi
(1945-1950;, demokrasi liberal (1950-1959); dan demokrasi terpimpin sampai
peristiwa G30S/PKI (1965) – pembunuhan enam jenderal oleh kaum komunis yang
membawa Soeharto ke kursi kekuasaan – dan penerbitan Supersemar (1966) – teks
dasar pembentukan Orde Baru yang melegitimasi kekuasaan Soeharto. [10]
Historiografi nasional juga menekankan
arsip negara (kolonial) sebagai ‘fakta-fakta yang dapat dipercaya’ berbeda dengan
historiografi lokal yang dimasukkan kedalam kategori dongeng rakyat.[11]
Buku-buku pelajaran sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan kesadaran
sejarah dan kesadaran nasional sebagaimana dilihat oleh negara.[12]
Sebagian besar sejarawan selama periode orde baru berhasil menghindarkan diri
dari fokus kepada negara sebagai penindas dan peranannya dalam penulis dan
sejarah nasional dan lokal.[13]
Dengan demikian sejarawan professional di Indonesia lebih memusatkan
perhatiannya pada topik-topik penelitian yang tidak terlalu peka yang seringkali
disponsori pemerintah.
B.
Pengaruh historiografi Kuno dan Historiografi Masa Revolusi terhadap
Historiografi Modern
Historiografi modern yang tumbuh dari
Eropa, baru dapat berkembang di Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19,
setelah ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat secara sadar diajarkan dan
dipelajari di beberapa tempat di Asia Tenggara.[14]
Pada abad ke-16 sampai abad ke-19 tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh
orang-orang Indonesia tidak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan yang dihasilkan
orang Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris.
Pada abad ke-18 penelitian sejarah masih
bersifat terbatas yaitu dengan pembentukan Bataviaach Genootschap voor kunsten
en Wetenshappen (Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan) di
Jakarta tahun 1778. Buku yang diterbitkan pada tahun 1783 yaitu Hystory of Sumatra yang ditulis oleh
William Marsden dan buku Hystory of Java (1817) juga masih belum terlalu
menarik orang untuk meneliti sejarah. Kemudian baru pada akhir abad ke-19, dengan
dihidupkannya kembali Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan serta
dibentuknya Straits Branch of Royal
Asiatic pada tahun 1878 kegiatan ilmiah yang sungguh-sungguh mulai terjadi.
Pada abad ke-19 tradisi penulisan babad dan sejarah juga masih tetap hidup.[15]
Pada abad ke-19 dan paruh pertama abad
ke-20, terdapat tiga bidang historiografi Asia Tenggara yang berbeda-beda.[16]
Tiga bidang historiografi tersebut yaitu:
1.
sejarah kuno, yang tidak dikenal atau kurang dikenal oleh penduduk asli,
diungkapkan oleh para fiolog, epigraf, dan para arkeolog. Misalnya N.J. Krom
mengenai sejarah kuno Indonesia.
2.
sejarah kolonial, yang mencakup-perdagangan, perang, perjanjian-perjanjian
dan adinistrasi orang Eropa, adalah perhatian khusus dari orang-orang Eropa
sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian khusus dari orang-orang Eropa
sendiri, dan kurang sekali menarik perhatian-perhatian sarjana-sarjana
setempat.
3.
“Periode Tengah” yang berkisar
antara empat sampai sepuluh abad sebelum abad ke-19, adalah zaman penulisan
sejarah penduduk asli, metode-metode modern bisa digunakan untuk mengatur,
menentukan tanggal-tanggal secara tepat, dan malah mengintepretasikan kembali
tulisan dari periode-periode itu.
Sejak merdeka bangsa Indonesia mulai
mengambil langkah-langkah baru dalam historiografi yaitu:
1.
Diterbitkannya karya D.G.E. Hall, A Hystory of Southeast Asia, tahun 1955, telah berhasil memantapkan pandangan
bahwa seluruh perkembangan sejarah dari jamankuno sampai modern bagi Asia
Tenggara adalah suatu unit sejarah yang jelas.[17]
2.
Hasil penelitian J.C.van Leur tentang pel`ayaran niaga di Asia pada masa
kuno, telah menimbulkan perdebatan-perdebatan mengenai sifat dan karya-karya
orang Eropa mengenai Asia Tenggara. Sebagian kecil dari artikel dan
disertasinya telah diterjemahkan oleh W.F. Wertheim, Indonesia Trade and Society: Essay in Asian and Social Economic History,
terbit tahun 1960.[18]
Sebagai akibatnya Asia Tenggara diberikan tempat khusus dalam konferensi
penulisan sejarah Asia di London pada tahun 1956. Hal ini merangsang timbulnya
sejumlah karangan mengenai historiografi Indonesia yang dicetuskan dalam
Kongres Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 1957.[19]
3.
Suatu usaha bersama melahirkan
pertemuan International Association of Historians of Asia (Perhimpunan International
dari Sejarawan Asia) yang berkongres sekali dalam tiga atau empat tahun, dan
rupanya akan menjadi wadah bagi sejarawan Asia.[20]
C.
Kecenderungan historiografi modern Indonesia
Historiografi
modern mempergunakan metode yang kritis dan menerapkan penghalusan teknik
penelitian dan memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan. Secara bertahap
berbagai ilmu bantu baru dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari penguasaan bahasa, epigrafi
(membaca tulisan kuno), numismatik (mempelajari mata uang kuno), dan arkeologi
yang mempelajari permasalahan arsip-arsip. Jadi ketepatan pengujian bahan harus
selalu diperhalus dan metode pengumpulan sumber (heuristik) harus dikembangkan.
Pada masa historiografi
modern terdapat suatu terobosan baru yaitu munculnya peranan-peranan rakyat
kecil (wong cilik) sebagai pelaku sejarah yang bisa dibilang diperopori oleh
Prof. Sartono Kartodirjo.[21] Penulisan sejarah selama
ini boleh dikatakan didominasi oleh para tokoh-tokoh besar seperti para
pahlawan kemerdekaan, ataupun tokoh politik yang berpengaruh. Hal tersebut
tentu saja tidak jelek, karena pada masa sekitar kemerdekaan, historiografi
dipakai sebagai pemicu rasa nasionalisme ditengah-tengah masyarakat yang baru
tumbuh. Oleh karena itu pada masa itu historiografi hanya berisi mengenai
biografi dan penulisan tentang tokoh-tokoh besar saja.
Perpindahan pandangan penulisan sejarah yang semula
Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris mempengaruhi perkembangan historiografi
selanjutnya.[22]
Ketika masa penjajahan Belanda historiografi Indonesia memiliki ciri
Eropa-sentris yaitu lebih memadang bangsa Eropa sebagai yang paling baik, dan
bangsa diluar tersebut adalah tidak baik. Namun dengan adanya perubahan
pandangan Indonesia-sentris ini bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebagai
bangsa rendahan. Perkembangan yang terlihat pada penulisan sejarah Indonesia
adalah kata-kata "pemberontakan" yang dahulu sering ditulis oleh para
sejarawan Eropa kini berganti menjadi "perlawanan" atau
"perjuangan" hal tersebut logis karena sebagai bangsa yang terjajah
tentu saja harus melawan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan.[23]
Perubahan-perubahan
historiografi yang terjadi setelah tahun 1970 tidak saja dalam arti pemikiran
tentang bagaimana sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret,
seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi
sejarah. Tren kecenderungan historiografi modern Indonesia dilihat dari 3
kategori yaitu ideologi untuk meperkuat, sejarah pewarisan 1980-1990an yaitu
orang-orang yang menuliskan biografi sendiri, dan sejarah ilmiah yang ditulis
oleh akademisi. Pada masa historiografi modern banyak buku-buku luar yang
disempurnakan dan tokoh-tokoh kecil banyak berperan misalnya pemberontakan
petani.
Ciri-ciri
Historiografi Modern
Di
Indonesia historiografi modern sedang
dikonfrontasikan dengan nasionalisme dan mungkin saja ditujukan kepada
kepentingan-kepentingan nasional. Sejarah nasional diutamakan daripada sejarah
ilmiah.[24]
Suatu generasi baru sekarang sedang menggunakan metode-metode modern dan
semakin tinggi saja ketrampilan dan keyakinan mereka tentang ilmu sejarah.[25]
Di Indonesia program studi ilmu sejarah mulai bermunculan, termasuk di dalamnya
adalah di Universitas Negeri Yogyakarta.
[1]
Danar Widiyanta, 2002, Diktat “Perkembangan Historiografi Tinjauan
Diberbagai Wilayah Dunia”, Yogyakarta: UNY, hal. 6.
[2] Danar
Widiyanta, 2010, Diktat
“Perkembangan Historiografi Modern Indonesia”,
Yogyakarta: UNY, hal. 34.
[3] Bambang
purwanto, dkk. 2008. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 8.
[14] Danar
Widiyanta (2002), op.cid., hal. 5.
[18] Ibid. hal.9.
makasih artikel nya , ini sangat membantu dalam pembuatan makalah saya ^^
BalasHapusga bisa di copy, hmmm sama aja
BalasHapus