Resensi film ”
Dead Poets Society”
Judul : Dead Poet’s Society
Tema : Drama
Alur cerita : Maju
Setting film : Sekolahan tahun 70 an
Produser : Duncan Henderson
Sutradara : Alan B. Curtiss
Pemain : Robbi Williams as John Keating
Robert Sea Leonard as Neil Perry
Gale hanseen as Charlie Dalton
Joe Aufiery as Kepala sekolah
Kurtwood
Smith as Mr Perry, dll.
Production House : Touchstone Pictures
Sinopsis :
Film ini menceritakan tentang fenomena dunia
pendidikan di Inggris pada tahun 1970an. Tujuh anak lelaki, Neil Perry (Robert Sean Leonard), Todd
Anderson (Ethan Hawke), Knox
Overstreet (Josh Charles), Charlie
Dalton (Gale Hansen), Richard
Cameron (Dylan Kussman), Steven
Meeks (Allelon Ruggiero) dan
Gerard Pitts (James Waterston) baru saja
masuk Akademi Welton. Sekolah ini adalah sekolah berasrama yang menganut
prinsip: Tradisi, Kehormatan, Disiplin, dan Prestasi.
Seperti karakter dari sekolah unggulan,
prinsip-prinsip itu sangat ditekankan pada siswa-siswa di sekolah tersebut. Dan
seperti umumnya sekolah unggulan, dalam film ini diceritakan bahwa banyak orang
tua yang tertarik untuk menyekolahkan anaknya, sebagai upaya agar anaknya
tersebut diterima di sekolah/universitas unggulan.
Film ini diawali dengan mulai masuknya
kembali siswa-siswa di sekolah itu, setelah liburan musim panas. Salah seorang
siswa, Neil Perry, mendapatkan seorang teman sekamar baru yang bernama Todd
Anderson. Todd sendiri sebelumnya tidak bersekolah di Welton Academy. Tetapi
karena kakaknya (Jeffrey Anderson), yang sempat menjadi siswa teladan,
bersekolah di situ maka dia pun dipindahkan oleh orang tuanya. Neil dan
beberapa orang temannya sering berkumpul untuk belajar maupun sekedar merokok.
Kegiatan yang disebutkan terakhir ini, mereka lakukan secara sembunyisembunyi.
Seperti kebanyakan siswa di sekolah ini,
alasan Neil untuk masuk adalah lebih karena untuk melaksanakan perintah dari
orang tuanya. Karena itulah ketika ayahnya menyuruh untuk mengundurkan diri
dari posisinya sebagai asisten penyuting buku tahunan, karena dianggap akan
mengganggu prestasi belajarnya, Neil tidak mampu menolak. Padahal sebenarnya,
Neil sangat menikmati dan menginginkan posisi itu. Kenyataan yang dihadapi oleh
Neil itu, juga dialami oleh siswa-siswa lainnya. Dan mereka akhirnya terbiasa
dengan sikap mengalah dan menurut kepada orang tuanya. Memilih untuk
melaksanakan pilihan dan perintah dari orang tuanya, dan melupakan keinginan
mereka sendiri.
Dalam rangka untuk melaksanakan
prinsip-prinsip yang dianut Welton Academy, guru yang mengajar disana sangat
keras dan disiplin terhadap para siswanya. Selain demi prinsip, hal tersebut
juga dilakukan untuk memastikan para siswanya dapat masuk ke universitas
unggulan sesuai dengan keinginan para orang tua siswa. Tidak jarang upaya
tersebut menyebabkan proses belajar di kelas menjadi monoton dan membosankan.
Hanya menghafal apa yang diajarkan oleh guru maupun yang tertulis di buku.
Tetapi hal itu seakan tidak menjadi suatu masalah bagi para siswa. Karena,
mereka memang telah terbiasa dengan kondisi seperti itu.
Kondisi yang berbeda dialami oleh para siswa
ketika John Keating, guru bahasa Inggris yang baru, masuk ke kelas. Perbedaan
itu jelas terlihat dari metode mengajarnya yang sangat berbeda. Ketika John
masuk ke kelas untuk pertama kali, para siswa sangat terkejut dan menganggap
guru itu aneh. Pada awal dimulainya kelas, seorang guru pengganti bahasa
Inggris, Pak Keating (dimainkan oleh Robin
Williams), baru saja memulai pelajaran. Seorang siswa membaca
pengantar buku tentang puisi, yang menyebutkan
bagaimana mengukur kualitas sebuah puisi, yang dapat diukur dan diberi skala,
proses ini sudah umum dalam literatur klasik waktu itu. Keating, sebaliknya
menyuruh semua siswa merobek seluruh halaman ”memahami puisi dari Dr.JEvan
Prtichard. Ph.D”. Tetapi lambat laun, para siswa mulai memahami dan
akhirnya mengagumi guru baru tersebut. Beberapa hal yang ditekankan oleh John
Keating kepada para siswanya adalah untuk mencari ide sendiri dan berusaha
untuk meraih kesempatan (carpe diem). Dia selalu berkata kepada para siswanya
untuk berpikir semau mereka, jadilah apa saja, lakukan apa saja, dan raihlah
kesempatan sebelum kau mati.
Neil
dan teman-temannya sangat tertarik kepada sosok John Keating. Ketertarikan itu,
telah membuat mereka mencari tahu lebih banyak mengenai guru itu. Salah satu
hal yang kemudian mereka ketahui adalah semasa mudanya dulu, John bersama
teman-temannya sering berkumpul di sebuah gua untuk membaca puisi. Komunitas
ini kemudian disebut sebagai the dead poet’s society. Hal ini menginspirasi
Neil dan kawan-kawannya untuk melakukan hal yang sama. Mereka kembali
menghidupkan the dead poet’s society, dan mulai sering keluar dari asrama
sekolah untuk membaca puisi di gua yang terletak di luar kompleks asrama.
Perkumpulan tidak diketahui pihak sekolah atau dilakukan secara sembunyi –
sembunyi.
Bagi klub ini sekolah bukanlah tempat yang
tepat untuk mengembangkan diri karena hanya dalam mimpilah manusia dapat bebas.
Seringkali mereka keluar di malam hari untuk mencari tempat sepi, tempat yang
cocok bagi segala ekspresi mereka dari membaca puisi sampai merokok demi meraih
kembali kebebasan yang terenggut setelah mereka bersekolah di tempat ini..
Begitulah, John Keating telah
banyak membawa pengaruh kepada Neil dan kawan-kawannya. Tidak jarang kata-kata
“raihlah kesempatan” (carpe diem) menjadi suatu alasan dan pendorong bagi
mereka untuk melakukan apapun yang mereka inginkan. Misalnya saja yang
dilakukan oleh salah seorang siswanya yang telah mengubah namanya menjadi
Nuwanda, ketika menyelundupkan tulisan mengenai tuntutan agar Welton Academy
menerima siswa wanita dalam buletin sekolah itu. Pihak sekolah akhirnya
memberikan hukuman pada Nuwanda dengan memberikan pukulan pada pantatnya.
Kepada Nuwanda ditanyakan mengenai keterlibatan siswa-siswa selain dirinya,
tapi dia tidak mau mengaku. Dan keberadaan the dead poet’s society pun masih
belum diketahui pihak sekolah. Setidaknya itulah yang diketahui oleh para siswa
itu.
Sampai akhirnya, terjadi suatu
peristiwa yang membuat Neil berani melawan perintah ayahnya. Neil yang sangat
ingin berakting, telah mendaftar dalam suatu pertunjukkan drama dan diterima
sebagai pemeran utama. Demi melaksanakan sesuatu yang sangat diinginkannya itu,
Neil memalsukan surat ijin dari ayahnya. Dan akhirnya, ayahnya mengetahui
perbuatannya itu. Neil tetap bersikeras untuk ikut dalam drama itu. Dan atas
saran dari John Keating, dia membicarakan maksud dan keinginannya untuk
berakting. Dan memang kemudian ayahnya mengijinkan Neil untuk ikut dalam
pementasan drama itu. Tetapi seusai pementasan, Neil dibawa pulang ke rumah
oleh ayahnya. Ayahnya menyampaikan keputusannya untuk mengeluarkan Neil dari
Welton Academy dan memasukkannya ke sekolah militer. Sebenarnya Neil tidak
menyukai rencana itu, tapi dia tidak mampu untuk menolaknya. Sampai akhirnya,
dia membuat keputusan untuk mengakhiri hidupnya dengan pistol milik ayahnya. Ayahnya sangat terpukul dan menyalahkan Gurunya pak
keating.
Kematian Neil ini menjadi awal
dari terungkapnya the dead poet’s society, yang dihidupkan kembali oleh Neil
dan kawan-kawannya. Pihak sekolah tidak mau nama
sekolahnya tercemar dan akhirnya mengkambing hitamkan pak Keating. Dibawah
tekanan anak – anak yang tergabung dalam klub ‘‘dead poet’s society” dipaksa
untuk menandatangani surat yang menyatakan pak Keating bersalah atas kejadian
ini. Dan akhirnya, John Keating yang memang banyak
berpengaruh kepada siswa-siswanya dan semasa muda dulu memunculkan the dead
poet’s society, menjadi pihak yang dianggap bersalah. John dianggap telah
menjadi pendorong dan penyebab dari peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh
Neil. Dan akhirnya, John Keating pun dipecat dari Welton Academy.
Menurut saya film sangat bagus, tidak mudah ditebak
namun di akhir cerita penonton dibuat agar menentukan sendiri akhir dari cerita
film ini. pada saat Keating kembali ke kelas untuk mengambil barang –
barangnya, Anderson meminta maaf kepada Keating bahwa ia dan teman – temannya
dipaksa untuk menandatangani surat itu. Namun kepala sekolah menuruhnya untuk
duduk kembali. Dan kemudian Anderson naik ke atas bangku sambil mengatakan“oh
kapten, kaptenku”lalu diikuti oleh siswa lain. Mereka memandang pak Keating
dan Pak Keating pun balas memandang sambil tersenyum ia berkata”terima kasih
anak – anak, terima kasih” . Adegan ini menunjukan betapa berharganya
Pak Keating di mata mereka, dan betapa haru dan bangganya Pak Keating bahwa
masih di ingat dan akan selalu dikenang oleh mereka. Bahwa betapa mulianya
seorang Guru di mata mereka.
Film ini banyak berbicara
tentang “kebebasan”. Kebebasan untuk mengungkapkan ide maupun keinginan. Film
ini juga menyoroti masalah pendidikan. Seringkali pendidikan dimaknai sebagai
suatu media untuk meraih sesuatu yang bersifat material semata, dan status.
Padahal ada hal lain yang lebih penting dalam pendidikan. Seperti yang
dikatakan John Keating dalam film ini, “Pendidikan adalah belajar untuk
berpikir sendiri”. Pendidikan bukanlah untuk menghafal teori-teori saja. Hal
lain yang juga diungkapkan dalam film ini adalah pada kenyataannya, bukanlah
hal mudah untuk merubah suatu sistem yang sudah establish. Ini ditunjukkan
dengan kegagalan Keating melawan sistem sekolahnya. Walaupun dia telah mampu
sedikit memberikan pandangan bagi para siswanya.
Pendidikan dilakukan
untuk memastikan para siswanya dapat masuk ke universitas unggulan sesuai
dengan keinginan para orang tua siswa. Pihak sekolah lebih mengedepankan nama besar sekolah, daripada
mempertahankan seorang Guru yang sangat luar biasa. Orang tua yang tidak tahu
apa keinginan anak. Orangtua yang
memaksakan kehendak / keinginan cita – cita sendiri kepada anaknya. Hal-hal tersebut merupakan
kesalahan dalam pendidikan untuk anak.
Dari
film ini saya dapat mengambil sebuah contoh realitas yang mungkin banyak
terjadi di sekitar kita dan mungkin lebih parah dari ini. Pembelajaran bagi
kita sebaiknya orang tua tidak memaksakan kehendak dan tidak banyak menuntut
dari anak, biarkan anak itu berkreasi sendiri dan mencari jati dirinya sendiri,
apa yang mereka inginkan? Apa yang mereka cari ? biarkan mereka cari jawabanya
sendiri. Bukan dengan menentang keinginanya, justru anak akan berontak, tapi
dukung dengan perhatian dan beri kesempatan untuk dia unjuk diri. Seluruh
film ini adalah proses penyadaran, dimana para murid (dan juga pemirsa) melihat
bahwa otoritas lembaga (seperti sekolah) dapat dan selalu berupaya menjadi
pengarah, tapi hanya diri kita sendiri yang dapat mengetahui siapa diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar