Nagasaki dan
Radiasi
Aku tak pernah tahu mengapa
aku dilahirkan dengan nama Hikari Setsuko pada tanggal 9 November 1931 di kota
Nagasaki. Kehidupanku sudah berbeda dengan kehidupan wanita lain di dunia ini.
Ketika orang lain tetap bersekolah pada usia 14 tahun, aku dan teman-temanku
harus bekerja. Pada jaman itu para pemuda umumnya dikirim ke medan perang.
Karena kurangnya tenaga kerja, terpaksa kaum wanita di pekerjakan di
pabrik-pabrik pembuatan alat perang. Setipa hari kaum wanita diharuskan bekerja
untuk keperluan perang sehingga tidak ada waktu lagi untuk bersekolah. Kebetulan
pada tanggal 6 Agustus 1945 merupakan hari libur, jadi aku tidak harus masuk
kerja. Aku putuskan untuk tinggal di rumah agar bisa beristirahat lebih lama.
Karena aku sadar walaupun hidup ini berat dan harus bekerja keras, aku juga
harus punya waktu untuk mengistirahatkan tubuhku.
Letak rumahku berada sekitar 1,7 km dari pusat
meledaknya bom atom. Aku yang berada dalam rumah saat itu, seperti melihat
kilat menyambar dengan cahayanya yang dasyat dalam sekejap. Dengan sambaran cahaya
yang tak sampai sedetik itu, orang yang berada di luar, di alam terbuka,
langsung terbakar mati. Setelah cahaya
itu, terdengar bunyi yang dasyat, seperti ada gempa bumi yang besar yang membuat
aku terperanjak dan tubuhku seperti dibanting ke lantai. Rumahku runtuh dalam
sekejap. Aku merasa sesak nafas. Aku sangat bersyukur karena rumahku terbuat
dari kayu sehingga aku dapat keluar dari reruntuhan kayu rumahku setelah
berusaha sekuat tenaga.
Sesudah keluar dari reruntuhan,
aku menyadari tubuhku penuh luka goresan dan berlumuran darah. Pakaian yang melekat di
tubuhku sobek-sobek. Saat aku melihat keadaan di sekelilingku, semua rumah telah
runtuh hanya terdengar teriakan minta tolong. Orang tidak mau keluar dari
runtuhan bangunan, terbakar begitu saja seperti daging terpanggang. Karena
hampir semua yang masih hidup terluka parah, tidak ada tenaga untuk menolong
satu sama lain. Masing-masing hanya bisa berusaha menyelamtkan diri, dan
bergerak tak tahu arah.
Aku dan ibuku bergerak
menuju tempat tebuka, sebuah taman yang dekat. Setiap orang yang aku temui saat
itu, mengalami luka bakar dengan rambut tegak berdiri. Tubuh manusia dengan kulit
terkelupas terurai, dengan mata yang tercopot keluar. Wajah para korban saat
itu banyak yang tidak bisa dikenali lagi. Sangat mengerikan melihat pemandang
saat itu. Semua orang ketakutan dan berusaha melangkah untuk menyelamatkan diri. Sementra itu api muncul di
mana-mana membakar reruntuhan bangunan. Semua menjadi korban dan tak ada yang
bisa memadamkan kobaran api. Kota Hiroshima menjadi lautan api.
Pada hari berikutnya
kota Hiroshima menjadi seperti kebun yang baru selesai dibakar. Hujan pun turun
seperti butiran-butiran hitam kelap. Asap hitam yang melambung ke udara
mengundang hujam hitam dan menghujani Hiroshima yang telah terbakar. Dengan
hujan ini, ada rasa gembira sedikit. Kami berusaha mendinginkan tubuh dangan
mandi air hujan yang kotor hitam yang mengandung radiasi atom itu. Kami melalui
malam itu di alam terbuka. Di sekitar terdengar tangisan akibat sakit dari luka
bakar, dan banyak yang tidak hidup lagi waktu pagi datang menyongsong.
Pada hari kedua itu aku
dan ibuku mulai mencari ayah. Kami
mencari ayahku yang saat itu sedang bekerja di dekat pusat meledaknya bom atom,
kami tetap mencarinya. Aku berkata pada ibuku, “Ibu, aku lelah, kita istirahat
dulu”. Ibuku berkata, “jangan menyerah anakku, ayo kita terus mencari ayah,
mungkin sebentar lahi kita bertemu orang yang bisa menolong kita”. Mendengar
perkataan ibu, semangatku kembali membara untuk mencari bantuan. Kami
menanyakan kabar ayah kami pada setiap orang yang kami temui, tapi tak ada yang
mengetahuinya. Dalam percarian ini, tiba-tiba aku mulai merasakan sakitnya
kakiku yang terusuk gelas.
Manusia yang masih bisa
bernafas yang saya temuai beruhasa beteriak “Air, air”. Setiap mendengar suara
manusia, “Tolong kasi air” yang mereka keluhkan. Mereka tidak mengeluh “Sakit”
atau “Pedih” tapi mereka selalu mengeluh “Haus”. Tubuh dan jiwa korban bom ini
“Haus”. Kami berpikir utuk, membuat pembakaran yang layak untuk sesama yang
telah meninggal. Kami mengumpulkan kayu dan menumpuk mayat di atasnya menyiram
dengan minyak tanah, lalu membakarnya. Dengan cara ini, mayat akhirnya menjadi
tulang terbakar. Wajah kota Hiroshima berubah menjadi seperti kuburan massal.
Hal yang sangat aku
syukuri adalah ubi jalar yang di tanam para tentara Jepang di bekas bangunan
rumah tentara, walaupun terkena bom atom, tetap bisa hidup dan membuahkan
hasil. Dengan itu orang yang masih hidup bisa makan ubi untuk menyambung hidup.
Namun setelah beberapa minggu berlalu, sesuatu yang menakutkan muncul. Mereka
yang kelihatan sehat dan tak terluka, tiba-tiba mengalami pendarahan hidung,
sakit perut dan rambut rontok lalu meninggal. Kemudian diketahui bahwa itu
adalah masih akibat radiasi bom atom. Kemudian tiba-tiba aku tak bisa membuka mataku karena banyak sekali asap.
Akhirnya aku tahu bahwa
ayahku telah meninggal seminggu kemudian. Sehari setelahnya ibuku juga
meninggal akibat radiasi. Mataku pun terkena radiasi. Setahun setelah tragedi itu,
aku menjadi phobia terhadap api karena semua inderaku mengingatkan betapa
menakutkan dan mengerikan api itu. Kini aku hidup dengan
penuh syukur bersama suami dan kedua anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar