Gerakan kolonialisme yang didukung oleh
perkembangan kapitalisme agraris barat, memandang tanah jajahan menjadi sumber
kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tenaga kerja dan melimpah di tanah
jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi produksi pertanian yang
menguntungkan bagi pasaran dunia. Sistem perkebunan dalam hal ini dipandang
sebagai cara yang tepat untuk diterapkan. Pelaksanaan sistem perkebunan dimulai
dengan melalui pembukaan penaman modal dan teknologi dari luar, dan
memanfaatkan tanah tanah dan tenaga kerja yang tersedia di daerah jajahan[1].
A.
Latar
Belakang
Pada abad XIX
pertumbuhan perekonomian Belanda memasuki masa industrialisasi. Para pemilik
modal berupaya mencari daerah baru. Mereka mendesak pemerintah agar membuka
perkebunan-perkebunan di daerah jajahan, salah satunya Hindia Belanda bagi
modal-modal asing.
Perkebunan
di Sumatera Timur telah muncul sejak paruh kedua abad XIX. Sumatera Timur
merupakan daerah perkebunan Tembakau, Karet, Kelapa Sawit. Daerah Sumatera
Timur merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan
perkebunan sejak J. Nienhuys membuka perkebunan Tembakau disana,
tahun 1864. Tembakau Deli yang menjadi komoditas ekspor sehingga menjadi
terkenal di pasaran Eropa.
Keberhasilan
yang diperoleh Nienhuys dengan keuntungan besar yang diperoleh telah menarik
perhatian para pengusaha perkebunan asing Eropa untuk berlomba-lomba melakukan
investasi di sektor agrobisnis Sumatra Timur. Prioritas komoditi yang mereka
tanam adalah Tembakau yang sangat terkenal di pasaran Tembakau Amsterdam,
kemudian menyusul karet dan kelapa sawit.
Perkembangan
yang didukung dan disertai dengan penegakan kekuasaan kolonial Belanda di
Sumatra Timur semakin dipicu oleh keluarnya Agrarische Wet tahun
1870 yang mengatur tentang kepemilikan tanah. Meskipun pada mulanya ditujukan
bagi Jawa dan Madura, namun kemudian Undang-Undang ini diterapkan juga dengan
peraturan lokal di Sumatra Timur. Kemudahan diperoleh setelah adanya
kejelasan tentang status kepemilikan tanah oleh penduduk yang memperlancar
persewaan lahan.
Sumatera
Timur berkembang
menjadi perkebunan yang besar. Tahun 1916 tercatat 320 perusahaan besar ( tidak termasuk
cabang) yang beroperasi didareah Deli Serdang sekitar 120 perusahaan, Langkat
67 perusahan, simelungun 51 perusahaan dan Asahan 82 perusahaan.
Di Sumatra
Timur berlaku dua macam sistem kepemilikan tanah yaitu Vorstdomein dan Volksdomein.
Menurut sistem Vorstdomein raja selaku kepala negara dianggap sebagai pemilik
dari semua tanah dan menyerahkan kepada para kawulanya untuk digarap. Rakyat
yang menggarap tanah-tanah tersebut wajib menyetorkannya kepada raja sebagian
besar hasilnya sebagai upeti, sedangkan sisanya digunakan mereka untuk memenuhi
kebutuhan sendiri. Dalam hal ini raja atau sultan mempunyai hak untuk
membagi-bagikan hak garap dan hak pakainya, namun tetap menguasai hak milik
sepenuhnya atas tanah.
Menurut
prinsip Volksdomein tanah merupakan hak milik dari individu yang membuka dan
menggarapnya secara rutin. Selama dia menghuni dan mengerjakan tanah tersebut,
maka dia masih memegang kepemilikannya yang diakui secara komunal oleh
masyarakatnya. Perkembangan lebih lanjut menjadikan tanah-tanah semacam ini
sebagai tanah bersama (tanah komunal) dan diakui sebagai tanah adat dengan hak
ulayat yang berlaku. Penggunaan tanah tersebut disahkan selama kepentingan adat
menuntutnya dan tidak ada pelanggaran atas aturan adat.
Para
pengusaha perkebunan besar hanya mengakui raja sebagai kepala negara atau
penguasa tanah semuanya. Oleh karena itu negosiasi dan kontrak dibuat dengan
raja/sultan yang akan menyerahkan lahan wewenangnya dieksploitasi. Mengingat di
wilayah Kesultanan Melayu berlaku juga prinsip vorstdomein maka kontrak sewa
yang dibuat oleh sultan dengan para pengusaha perkebunan dianggap sah. Para
pengusaha perkebunan berhak juga melakukan pengusiran dan penggusuran terhadap
penduduk yang menggarap dan menghuni tanah-tanah yang ditunjuk oleh sultan
untuk disewakan. Sebagai gantinya pengusaha perkebunan menggunakan lahan
tersebut untuk kepentingan pemukiman kolonisasi kuli kontrak yang
didatangkannya dari Jawa sebagai tenaga kerja perkebunan.
Berkembangnya
perkebunan besar di Sumatera Timur telah menarik penguasaha-penguasa perkebunan untuk menanamkan modalnya disana. Orang-orang
kulit putih datang kesana untuk membuka dan menjadi penguasaha perkebunan,
orang Cina, Jawa India datang sebagai buruh dan orang minangkabau dan Mandailing merantau untuk berdagang. Hidup
mereka tergantung pada imbalan yang diterima dari hasil kerja yang hanya
pas-pasan. Semua gaji yang diterima habis untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
Digambarkan bahwa upaha yang diterima oleh buruh sebanyak 35 sen sehari.
Apabila seorang buruh hanya bekerja selama 28 hari dalam satu bulan maka dia
akan menerima upah sebasar 9, 80 gulden itu pun masih harus di potong dengan
membayar uang panjar ( Vorschoot) sehingga sisanya hanya senilai
2,40 gulden saja.
Masalah yang
timbul pada masa perkebunan di Sumatera Timur adalah kelangkaan tenaga kerja
perkebunan. Jumlah tenaga kerja yang kecil sedangkan lahan yang luas
menimbulkan keengganan penduduk setempat untuk bekerja sebagai buruh pertanian.
Kekurangan tenaga kerja mendorong untuk menarik para pekerja dari luar daerah.
Tenaga kerja di ambil dari Cina, Jawa dan daerah yang lainnya seperti semananjung
Melayu (Malaysia dan Singapura ) melalui Broker atau Werver (orang Jawa sering
menyebut Werek). Kepentingan para pengusaha untuk memperoleh tenaga kerja
kemudian di lindungi oleh pasal 2 No. 27 dari Politiestrafrglemet voor
Inlander. Usaha untuk memperkerjakan buruh-buruh Cina ini
sangat berhasil sehingga dalam tahun 1871, yaitu hanya 8 tahun setelah daerah
Sumatera Timur dibuka untuk investasi modal Barat, perkebunan-perkebunan di
Deli sudah memperkerjakan kurang lebih 3000 buruh Cina.[2]
Sistem perantara yang digunakan
dalam pencarian tenaga kerja banyak menimbulkan masalah dan penyelewengan yang
dilakukan oleh para Broker/ Werver. Tidak jarang terjadi penculikan dan
pembujukan dengan janji-janji yang menyenangkan dengan iming-iming upah yang
tinggi. Karena kesulitan dalam menacari tenaga kerja maka pencaraian kerja
diserahkan kepada perhimpunan pengasaha perkebunan ( Deli Planters
Vereninging). Pada tahun 1888 perhimpunan ini mendirikan biro imigrasi yang
mengurus secara langsung selaksi calon pekerja di negeri Cina, pengangkutan
tenaga kerja ke Sumatera Timur dan mengurusi masalah keuangan. Namun pada
kenyataannnya para werek tidak menyeleksi para pekerja, melainkan siapa yang
mau bahkan melalui bujuk rayu kepada calon pekerja. Pada tahun 1888
terdapat kurang lebih 1.152 tenaga kerja Cina, tahun 1889 sebanyak 5.167, dan
tahun 14890 sampai 6666 tenaga kerja.
Untuk
keperluan Hindia Belanda maka tahun 1888 di bentuk suatu peraturan untuk para
buruh perkebunan. Mereka diikat dengan suatu kontrak dengan para pengusaha,
namun kontrak tersebut tidak bisa di akhiri dengan buruh. Apabila buruh tersebut
melarikan diri maka mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal dengan
sebutan Poenale Santic. Suatu hukuman yang kejam yang bisa berupa
hukuman cambuk untuk buruh laki-laki hingga di bunuh. Dalam
tulisan Jan Breman dikatakan bahwa J. Nienhuys, pernah menghukum
cambuk pekerja perkebunan sebanyak 7 buruh sampai meninggal. Hal ini yang
membuat Nienhuys pergi keluar Sumatera Timur.
Dengan
menandatangani kontrak tersebut secara tidak langsung telah menjerat pekerja
perkebunan dengan jaringan hutan-pihutang. Dalam sehari para buruh hanya bisa
istirahat 1/20 dari waktu kerjanya. Buruh kontrak dikenakan aturan Ordonantie
Koeli maksimum bekerja 12 jam, tapi kenyataannya mereka harus bekerja 13 jam
dengan rincian 5 jam menyadap karet, 3 jam menguruh pohon Karet muda, 5 jam
mengolah Lateks menjadi Karet mentah.
Poenale
Santie sangat melewati batas kewajaran, sehingga timbul protes dari luar
perkebunan melalui mass media atau masyarakat Hindia Belanda maupun negeri
induk untuk meghapus Peonale santie. Berita itu akhirnya sampai ke Den Haag,
sehingga Ratu Belanda memerintahkan kepada gubernur jendaeral untuk melarang
tindakan main hakim sendiri. Sejak itu maka pengadilan hanya dilakukan oleh
pemerintah. Begitu gencarnya protes tentang kekejaman tuan kebun di
Deli-Serdang membuat pemerintah mengganti peraturan peonale santi dengan koeli
ordonansi 1880. Namun koeli ordonansi pada kenyataannya sama dengan
peonale santie, para buruh tetap mengalami penderitaan dari siksaan tuan
kebunnya. Koeli ordonansi baru dihapus seiring dengan datangnya bangsa Jepang
tahun 1941.
Pengusiran
penduduk pribumi yang sering disebut dengan istilah rakyat penunggu dari daerah
pemukimannya dan larangan mereka untuk menggarap tanah tersebut segera
menimbulkan persoalan sengketa. Rakyat merasa bahwa tanah itu adalah milik
sultan mereka dan menjadi hak mereka untuk menggarapnya sebagai sumber
kehidupan. Persoalan semakin bertambah ketika dalam kontrak sewa tersebut
diikutkan juga tanah-tanah ulayat yang diakui secara adat sebagai milik komunal
penduduk. Dari tanah-tanah ulayat yang disewa perkebunan, rakyat juga tidak
diperkenankan untuk menggarapnya.
Sebagai
akibat dari kondisi ini kehidupan rakyat pribumi menjadi tidak menentu,
mengingat sumber penghasilan mereka yang diperoleh dari penggarapan tanah tidak
lagi ada. Meskipun sebagian dari mereka ada yang berangkat ke kota-kota untuk
bekerja sebagai tenaga buruh atau profesional lainnya, namun sebagian besar dan
terutama yang tidak mempunyai keahlian tidak bisa meninggalkan kampung
halamannya. Mereka hanya bisa mengharapkan bisa kembali menggarap tanah-tanah
tersebut dengan berbagai cara
Kondisi
pengangguran agraria ini tentu saja menciptakan kerawanan situasi dalam
kehidupan. Beberapa tindakan kejahatan sosial muncul sebagai jalan alternatif
untuk mencari cara menyelesaikan kebutuhan hidupnya. Dalam laporan para pejabat
lokal Belanda yang ditempatkan di wilayah Sumatra Timur tercatat adanya kenaikan
prosentase kejahatan di daerah perkebunan dalam perempatan pertama abad XX.
Meskipun ada juga yang dilakukan oleh para kuli pendatang, namun keterlibatan
oleh penduduk pribumi setempat tidak bisa dihindari.
Untuk
mencegah kenaikan dan perluasan kriminalitas sosial tersebut, pemerintah
Belanda mencoba mencari jalan keluar bersama Sultan dan pengusaha perkebunan. Rakyat penunggu diberi lahan yang bisa digarap oleh mereka dan dipetik hasilnya. Selain itu juga
dilakukan pemberian karunia Sultan (grant Sultan) dalam bentuk
tanah-tanah kosong yang tidak disewakan. Meskipun di atas kertas semua terlihat
baik dan berjalan lancar, namun dalam pelaksanaannya semua tidak berhasil. Hal
ini disebabkan oleh adanya eksploitasi yang dilakukan para kepala adat pribumi
sebagai orang-orang yang ditunjuk Sultan untuk mengatur pembagian tanah
tersebut. Para kepala adat ini sering melakukan pemerasan dalam bentuk tuntutan
penyetoran hasil tanah secara berlebihan dari penduduk penggarapnya. Akibatnya
hasil yang diterima oleh penduduk tidak bisa mencukupi bagi kebutuhan hidupnya.
Kondisi
tersebut memberi alasan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil alih
wewenang pengaturan agraria dari tangan Sultan. Setelah adanya persetujuan yang
disepakati, Kontrolir sebagai pejabat tingkat bawah kolonial menggantikan
Sultan dalam menangani kasus tersebut. Untuk itu dia mengeluarkan hak garap
atas tanah-tanah yang disebut grant Controleur (karunia Kontrolir). Seperti
halnya grant Sultan, tipe tanah-tanah ini mengalami kendala dalam pelaksanaan
penggarapannya. Hal itu disebabkan oleh peraturan yang dikeluarkan pemerintah
kolonial bahwa barang siapa yang menerima tanah itu untuk digarap harus
melakukan kerja wajib dalam jangka waktu tertentu bagi kepentingan pemerintah
Belanda. Selain itu mereka juga harus menyetorkan sebagian hasil produksinya
kepada pemerintah Belanda. Akibatnya penduduk tidak lagi mempunyai waktu untuk
bekerja secara maksimal dalam menggarap lahan tersebut.
Sumber:
Sartono
Kartodirdjo dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah
Perkebunan di Indonesia Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Aditya
Media.
Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Stoler, Ann
Laura. 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi
di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: Karsa.
Gusti Asnan.
2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera.
Yogyakarta: Ombak.