Paulo Freire dilahirkan di Recife, Brasil pada 19 September 1921. Ia berasal dari keluarga kelas menengah yang oleh karena
keadaan ekonomi nasional yang buruk saat itu, membuatnya juga merasakan apa artinya kekurangan dan kelaparan. Ia mempunyai latar belakang
pendidikan di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek
sebagai seorangpengacara. Kemudian ia menjadi guru bahasa Portugis selama 6
tahun
(1941-1947). Sekitar tahun 1944 ia menikah
dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan inilah yang
memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum
ke bidang pendidikan.
Tahun 1959,
Freire menyerahkan disertasi doktoral di Universitas Recife dengan judul Educacao e Atualidade
Brasileira (Pendidikan dan Keadaan Masa Kini di Brasil). Di kemudian hari, ia bahkan
diangkat sebagai guru besar bidang sejarah dan
filsafat pendidikan di universitas tersebut. Pada tahun 1961-1964, ia
menjadi Direktur Pertama dari Departemen Perluasan Kebudayaan Universitas Recife.
Karena keberhasilannya dalam program
pemberantasan buta huruf di daerah Angicos, Rio Grande do Norte, ia diangkat
sebagai Presiden dari Komisi Nasional untuk Kebudayaan Populer.
Pada tahun
1964 terjadi kudeta militer di Brasil. Rezim yang berkuasa saat itu menganggap Freire seorang tokoh
yang berbahaya, karena itu mereka menahannya selama tujuh puluh hari sebelum
akhirnya “mempersilakan” Freire untuk meninggalkan
negeri itu. Ia memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk
sementara waktu di
Bolivia. Dari Bolivia ia pindah ke Chili
dan berkerja selama lima tahun untuk organisasi internasional Christian Democratic
Agrarian Reform Movement. Dalam masa lima tahun ini, ia dianggap sangat berjasa menghantar Chili menjadi satu dari lima
negara terbaik di dunia yang diakui UNESCO sukses dalam memberantas buta huruf.
Pada tahun 1969 ia sempat menjadi visiting
professor di Universitas Harvard. Antara tahun 1969-1979, ia pindah ke Jenewa dan
menjadi penasihat khusus bidang pendidikan bagi Dewan Gereja Dunia. Pada akhir tahun 1960-an nilah ia menulis salah satu bukunya yang
paling terkenal, Pedagogy of
the Oppressed.4 Pada tahun 1979, Freire kembali ke
Brasil dan menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 ia
ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo, sebuah posisi yang memberinyatanggung jawab untuk mereformasi dua
pertiga dari seluruh sekolah negeri yang ada.
Freire
meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, ia menerima
beberapa gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia. Ia
juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya:
UNESCO’s Peace Prize tahun 1987, dan dari The Association of Christian
Educators of the United States
sebagai The Outstanding Christian
Educator, pada tahun 1985.
FILSAFAT PENDIDIKAN FREIRE
Secara
filosofis, pemikiran Freire banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran Fenomenologi, Personalisme,
Eksistensialisme, dan Marxisme. Sebagai tokoh pendidikan, ia dikenal sebagai salah
satu tokoh utama Rekonstruksionisme. Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan
realitas dirimanusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya
bersifat obyektif atau subyektif, tapi kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk
merubah keadaan yang tidak menusiawi selelu memerlukan kemampuan subyektif
(kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak
manusia, yang terjadi senyatanya, yang dikhotomi dalam
pengertian psikologis. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu
fungsi dialektif yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya
dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang
kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, bisa menjebak kita ke dalam
kerancuan berpikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti
subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan
dialek tersebut tidak terutama berarti persoalan mana yang lebih benar atau
yang lebih salah.
Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya
yang ajeg, yakni:
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia
1. Pengajar
2. Pelajar atau anak didik
3. Realitas dunia
Yang pertama dan kedua adalah subyek yang
sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari
atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang
tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.
Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandalkan sebagai sebuah “bank” (banking concept of educational) di mana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar daripadanya kelak diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak . Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunai yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandalkan sebagai sebuah “bank” (banking concept of educational) di mana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar daripadanya kelak diharapkan suatu hasil lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak . Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunai yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Secara
sederhana Freire menyusun daftar antagonis
pendidikan “gaya bank” sebagai brtikut
1. Guru mengajar, murid belajar.
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid mendengarkan
6. Guru mengatur dan memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti.
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru.
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesioanlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.
1. Guru mengajar, murid belajar.
2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murid mendengarkan
6. Guru mengatur dan memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti.
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru.
8. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesioanlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid.
10. Guru adalah subyek proses belajar, murid hanya obyeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya,
maka merupakan hal yang lumrh saja jika murid-murid kemudian
mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang
harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut
pendidikan semacam ini menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan
“biofili” Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada
saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadi diri mereka sendiri sebagai
duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah lahir lagi manusia-manusia
penindas yang baru. Jika kemudian mereka menjadi guru atau pendidik juga, maka
daur penindasanpun segera dimulai lagi dalam dunia pendidikan, dan seterusnya.
Sistem pendidikan, karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara
keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive
force) ke arah perubahan dan pembaharuan. Bagi Freire, sistem pendidikan
sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia .
Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak-didik sebagai
manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinheried masses) dari
realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah
mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti yang berarti menjadi
seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.
Pola pendidikan
semacam itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang
terhadap situasi yang dihadapinya, tetapi tidak akan mampu merubah “realitas”
dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga
mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada
awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem
pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol
dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya
sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.
Maka akhirnya
Freire pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai
“pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun
kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem
pendidikan membaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan,
bukan penguasaan (dominasi). Pendidikan memang harus menjadi proses
pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural
domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia, dan karena
itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi
total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada
sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran dakan realitas
dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas itu. Inilah makna dan hakekat
praxis itu, yakni:
Dengan kata
lain, “praxis”, adalah “manunggal karsa, kata, dan karya”, karena manusia pada
dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara, dan berbuat. Makna
“praxis” tidak memisahkan ke tiga fungsi atau aspek tersebut sebagai bagian-bagian
yang terpisah, tetapi padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai
manusia seutuhnya. Jika hal itu dibuat terpisah, maka akan ada dua kutub
ekstrem yang terjadi, yakni pendewaan berlebihan pada kata-kata (sacrifice of
verbalism), atau pendewaan berlebihan pada kerja (sacreifice of ativism).
Prinsip “prais” inilah yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi
pendidikan kaum tertindas Paulo Freire. Setiap waktu dalam prosesnya,
pendidikan ini merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan, kemudian tindakan
itu direfleksikan kembali, dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang
lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga proses pendidikan merupakan
suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus-menerus sepanjang
hidup seseorang:
Pada saat
bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah
pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, maka setiap anak
didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia
dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model
pendidikannyasebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education).
Anak-didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan
pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya.
Begitu juga sang guru.
Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, seling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbagan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi hubungan subyek—subyek, bukan subyek—obyek. Obyek meraka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama. Membandingkannya dengan pendidikan “gaya bank” yang bersifat antidialogis, Freire menggambarkannya secara skematis, sebagai berikut:
Jadi keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, seling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbagan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi hubungan subyek—subyek, bukan subyek—obyek. Obyek meraka adalah realitas. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama. Membandingkannya dengan pendidikan “gaya bank” yang bersifat antidialogis, Freire menggambarkannya secara skematis, sebagai berikut:
Persamaan
dan Perbedaan Pemikiran Pendidikan Humanistik Paulo
Freire dan Ki Hadjar Dewantara
Adapun
persamaannya dapat
dilihat dari pandangan mereka tentang konsep manusia dan pendidikan, meliputi:
1.
Pengakuan terhadap keberadaan fitrah manusia, yakni manusia memiliki kemampuan atau potensi dalam
dirinya untuk berkembang.
2.
Humanisasi pendidikan, yakni menjadikan pendidikan sebagai media pembentukan manusia seutuhnya, dan
pembebasan sebagai tujuan pendidikan.
Yakni terciptanya manusia yang bebas untuk memperoleh kehidupan yang layak sebagai
manusia.
3.
Sama-sama memandang pendidik sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memberi arahan atau
tuntunan, juga menjadi fasilitator
dan motivator bagi peserta didik.
4.
Seperti halnya pendangannya mengenai manusia, kedua tokoh tersebut juga memandang peserta didik sebagai
makhluk yang memiliki potensi untuk
memahami diri sendiri menurut kodratnya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya peserta didik mendapat
tekanan atau paksaan yang bisa menghambat
perkembangan potensinya.
Sedangkan
perbedaan pemikiran pendidikan humanistik kedua tokoh tersebut tidaklah banyak karena
dasar yang mereka pakai sama-sama ingin
memanusiakan
manusia secara utuh, adapun hasil analisis mengenai perbedaanya meliputi:
1.
Tujuan pokok kedua tokoh tersebut memang pemanusiaan, tetapi landasan dasarnya berbeda, pendidikan
Freire ingin mengkonstruk pendidikan
sebagai media untuk keluar dari belenggu penindasan. Sedang Ki Hadjar, lebih
mengutamakan nilai luhur, kebudayaan atau
budi
pekerti, yang dari situ, nantinya akan tercipta rasa kasih sayang atau saling menghormati sesama dalam
diri setiap individu.
2.
Dalam metode yang digunakan, Freire dengan metode hadap masalahnya,mengembangkan paserta
didik untuk berfikir lebih kritis
dalam
menghadapi masalah dan memecahkan masalahnya. Sedang Ki Hadjar menggunakan metode Among yang
bersifat menuntun atau
membimbing
peserta didik agar dapat mengembangkan potensinya secara utuh. Akan tetapi keduanya juga
menggunakan dialog atau partisipasi
siswa
sebagai cara efektif untuk belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar