Ageboy Blog: http://ageboy.blogspot.com/2012/04/cara-agar-blog-tidak-bisa-di-copy-paste.html#ixzz28tv7zoxP memories of history: makalah kondisi wanita di awal kemerdekaan di Jakarta

Senin, 08 Oktober 2012

makalah kondisi wanita di awal kemerdekaan di Jakarta


“Perkembangan Prostitusi di Jakarta pada Awal Abad XX”
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada tahun 1930 dunia mengalami krisis ekonomi, di mana efeknya begitu besar di Hindia Belanda. Akibat krisis ekonomi tersebut, sebagian besar aktifitas perekonomian mengalami gangguan yang serius. Kondisi tersebut juga berpengaruh pada lapangan pekerjaan di Hindia Belanda. Krisis tersebut mengakibatkan berbagai persoalan menyangkut upaya untuk tetap mendapatkan penghasilan agar tetap dapat survive dalam kondisi perekonomian yang serba sulit itu. Salah satu gejala yang kemudian tampak cenderung meningkat adalah berkembangnya aktivitas prostitusi di pusat-pusat perekonomian yang sedang goyah, termasuk di Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1959 terjadi pergantian sistem politik di Indonesia, yaitu dari demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin. Pergantian sistem politik itu secara langsung memang tidak ada pengaruhnya dengan perkembangan prostitusi di Jakarta, namun berbagai situasi sosial dan ekonomi yang serba sulit sejak kemerdekaan hingga memasuki akhir tahun 1950an, yang ditandai dengan banyaknya pengangguran dan kemiskinan, setidak-tidaknya memberikan asumsi bahwa proses politik yang terjadi ikut mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi ada. Selain itu, sejak tahun 1950an mulai terjadi arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan perkembangan kota Jakarta dan adanya proses nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan di Jakarta, di antaranya masalah prostitusi.
Jadi makalah ini berusaha mengkaji sejarah dan perkembangan prostitusi di Jakarta seiring dengan perkembangan dan berbagai perubahan yang terjadi di Jakarta pada kurun 1930-1959. Makalah ini membahas persoalan-persoalan yang melatarbelakangi perkembangan prostitusi, bentuk-bentuk prostitusi, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan prostitusi, akibat yang ditimbulkan oleh aktifitas prostitusi, dan berbagai upaya untuk menanggulangi prostitusi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab prostitusi di Jakarta pada awal abad XX?
3.      Bagaimana dampak dan upaya penanggulangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui perkembangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX.
2.      Mengetahui faktor-faktor penyebab prostitusi di Jakarta pada awal abad XX.
3.      Mengetahui dampak dan upaya penanggulangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX


BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX
1. Perkembangan Prostitusi Masa Kolonial Belanda
Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu. Bahkan, sejak masa J.P. Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi walaupun secara tegas ia tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu.
Seiring dengan perkembangan ekonomi dan fisik kota Jakarta, serta peran dan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, maka tempat-tempat pelacuran pun juga mengalami perkembangan dan bergeser, misalnya kemudian berkembang tempat pelacuran kelas rendah di sebelah timur Macao Po (sekitar jalan Jakarta sekarang), yang saat itu bernama Gang Mangga. Tempat ini cukup terkenal sebagai salah satu tempat berlangsungnya kegiatan prostitusi.
Faktor kurangnya jumlah perempuan dibandingkan dengan prianya, misalnya selama periode 1860-1930, merupakan alasan logis meningkatnya permintaan jasa prostitusi, sehingga praktek-praktek prostitusi berkembang semakin pesat di masa kolonial Belanda. Selain itu, kondisi perekonomian yang stagnan dan cenderung memburuk pada dasawarsa 1930an ketika terjadi krisis ekonomi turut pula mempengaruhi seorang perempuan dalam menentukan keputusan untuk terjun ke dunia prostitusi. Kemiskinan merupakan kondisi tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia selama masa penjajahan. Sebagaimana diketahui, memasuki dasawarsa 1930an, kekuasaan Belanda di Indonesia mulai mengalami tekanan ekonomi, terlebih saat krisis ekonomi melanda dengan dahsyatnya pada tahun 1930.
Depresi ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan tahun 1920an di antaranya disebabkan oleh jatuhnya harga-harga komoditi internasional seperti gula dan kopi, sehingga berdampak pada menurunnya aktivitas ekspor dan impor yang pada akhirnya juga berpengaruh pada berkurangnya kesempatan kerja. Berkurangnya kesempatan kerja secara otomatis meningkatkan jumlah pengangguran. Dengan demikian, kita dapat berasumsi bahwa prostitusi yang berkembang di Jakarta pada dasawarsa 1930an ini lebih didominasi oleh faktor kesulitan ekonomi akibat terjadinya krisis ekonomi.

2. Perkembangan Prostitusi Masa Jepang
Penjajah Jepang sebagai ganti kekuasaan Belanda di Indonesia, menjalankan pemerintahan dengan sangat represif. Keadaan ekonomi penduduk sangat parah, sebab segala hasil produksi ditujukan untuk kepentingan Jepang. Jepang juga mengerahkan tenaga rakyat secara paksa yang disebut romusha, untuk membangun prasarana perang, lapangan udara, dan jalan raya. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di mana-mana. Banyak penduduk yang hanya berpakaian dari kain goni, sehingga berbagai penyakit kulit diderita oleh penduduk.
Selama Jepang menduduki Indonesia, secara fisik dapat dikatakan bahwa Jakarta sama sekali tidak mengalami perkembangan, namun prostitusi dan komersialisasi seks terus berkembang selama pendudukan Jepang. Pada masa pendudukan Jepang inilah disinyalir terjadi eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan juga ada jaringan perdagangan perempuan untuk dijadikan pelacur. Indikasi ini terkait dengan banyaknya perempuan yang tertipu atau dipaksa memasuki dunia prostitusi. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota Indonesia lainnya kepada sejumlah perempuan. Banyak perempuan yang tertarik dengan tawaran itu dan dibawa dan ditampung ke daerah-daerah sekitar pelabuhan Semarang, Surabaya dan Jakarta (Tanjung Priok). Dalam kenyataanya mereka dipaksa melayani hasrat seks para serdadu dan perwira Jepang serta dilarang meninggalkan rumah bordil.
Pada umumnya perempuan yang tertipu dan dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang (belakangan mereka dikenal sebagai Jugun Ianfu) itu berasal dari latar belakang keluarga pegawai pangreh praja yang takut kehilangan pangkat dan jabatannya. Janji-janji untuk disekolahkan ke luar negeri tidak disiarkan melalui surat kabar, tetapi dari mulut ke mulut yang ditangani oleh Sendenbu (Jawatan propaganda). Pada masa Jepang, pangreh praja tunduk melaksanakan perintah Sendenbu. Sebagai konsekuensinya, para pangreh praja (dari bupati sampai lurah) harus memberi contoh menyerahkan anaknya. Masalah kelangkaan lapangan pekerjaan sebagai akibat situasi ekonomi yang sulit pada masa Jepang menjadi alasan utama para perempuan mudah dijebak dengan iming-iming mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban hidup keluarga.

3. Perkembangan Prostitusi Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, aktivitas dan perkembangan prostitusi terus tumbuh dengan subur. Alasan ekonomi merupakan kondisi yang patut diperhatikan di sini sebab pada masa-masa awal Indonesia merdeka kondisi perekonomian bangsa Indonesia memang masih memprihatinkan.
Pada tahun 1950an sampai 1960an terdapat banyak tempat prostitusi yang tumbuh subur di Jakarta, seperti di Jalan Halimun, antara Kali Malang (dekat markas CPM Guntur) hingga Bendungan Banjir Kanal. Di malam hari kawasan sekitar stasiun kereta api Senen menjelma menjadi pasar seks. Tidak mengherankan jika pada pertengahan tahun 1950an pelacuran kelas bawah terjadi di gerbong-gerbong kereta api atau di rumah-rumah dari kotak kardus di sekitar stasiun Senen.
Selain di kawasan stasiun Senen, kawasan Bongkaran Tanah Abang juga menjadi tempat kegiatan prostitusi kelas bawah yang telah terkenal sejak dulu, di mana kebanyakan konsumennya adalah para sopir, buruh, dan pekerja kasar lainnya.

B. Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi
Salah satu faktor penyebab maraknya praktek prostitusi di Jakarta dalam tiga lintas kekuasaan adalah kemiskinan. Kondisi ekonomi penduduk pribumi pada masa kolonial umumnya dalam keadaan subsisten, karena sebagian tanah mereka disewa untuk ditanami tanaman komoditi eksport.
Ketika depresi ekonomi memuncak pada sekitar tahun 1930, kondisi sosial dan perekonomian penduduk Jakarta terguncang hebat karena banyak buruh dan tenaga kerja kehilangan pekerjaan akibat banyak perusahaan yang bangkrut, sehingga angka pengangguran pun membengkak. Dengan kondisi sosial dan perekonomian seperti itu. Tidaklah mengherankan jika aktivitas prostitusi di Jakarta cenderung meningkat karena desakan ekonomi. Di tempat-tempat yang merupakan pusat kegiatan perdagangan maupun perekonomian seperti perkebunan, industri/pabrik, dan pelabuhan— seperti halnya Batavia—sering dijumpai praktik-praktik prostitusi yang sulit terkontrol.
Faktor lain penyebab perkembangan prostitusi di Jakarta adalah tingginya arus urbanisasi ke Jakarta. Memasuki masa awal kemerdekaan, keberadaan, posisi, serta peran ibukota Jakarta memang mempunyai arti sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Kondisi perekonomian yang masih memprihatinkan dan tingginya arus urbanisasi penduduk ke ibukota Jakarta pada tahun 1950an, lebih-lebih sejak 1959 perkembangan ibukota menjadi bagian politik mercu suar yang bertujuan membuat RI sebagai inti dari The New Emerging Forces, mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk dengan berbagai eksesnya, seperti kurangnya lapangan kerja, pemukiman, pertanahan, dan masalah sosial dengan tingkat kerawanan tinggi, termasuk perkembangan prostitusi.

C. Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
Meningkatnya jumlah penderita penyakit kelamin adalah dampak utama dari adanya praktek-praktek prostitusi, terutama bentuk prostitusi liar. Walaupun data tentang peningkatan jumlah penderita penyakit kelamin pada masa Jepang belum ditemukan, namun melihat dari praktek prostitusi pada zaman Jepang yang terorganisir secara rapi, dapat diasumsikan bahwa tetap ada tentara Jepang yang menderita penyakit kelamin, walaupun mungkin tidak sebanyak masa sebelumnya. Setelah kemerdekaan pun penyakit kelamin tetap berkembang dan sulit dibrantas. Penyakit kelamin yang banyak diidap pada masa tahun 1950an sampai 1960an adalah sipilis.
Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi. Upaya serius dan riil pemerintah daerah Jakarta dalam rangka menekan pertumbuhan prostitusi, yang tentu saja bila berhasil akan menekan pula laju jumlah penderita penyakit kelamin, adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Namun, upaya-upaya tersebut belum mampu menghentikan atau mengurangi praktik prostitusi, karena upaya yang ditempuh lebih cenderung bersifat instant—membongkar atau merazia tempat-tempat prostitusi dan kemudian menangkapi para pelacur–dan tidak pernah berupaya memecahkan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi. Selain itu, kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa jera.

BAB III
KESIMPULAN

Praktik-praktik prostitusi di Jakarta sudah ada sejak masa awal kekuasaan Hindia Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, terutama abad XIX, pemerintah Hindia Belanda menganggap perlu adanya upaya penyegaran dan hiburan bagi tentaranya dengan mengijinkan mereka untuk pergi ke tempat-tempat pelacuran guna menghilangkan stres dan rasa jenuh.
Selain pemerintah Pendudukan Tentara Jepang, para aparat desa pun turut terlibat dalam perekrutan perempuan-perempuan Indonesia untuk dijadikan pelacur pada masa Jepang. Kondisi politik dan perkonomian penduduk Indonesia yang tidak menentu sepanjang masa revolusi fisik, menyebabkan sebagian rakyat hidup miskin. Karena semakin sempitnya lahan pertanian di kampung dan adanya keinginan untuk mendapat pekerjaan yang mudah di kota, mendorong penduduk desa melakukan urbanisasi ke kota Jakarta. Adapun arus urbanisasi yang sangat tinggi ke Jakarta pada tahun 1950an semakin memantapan eksistensi praktek-praktek prostitusi, karena semakin banyak permintaan akan jasa layanan seks. Berbagai upaya upaya telah dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi praktik-praktik prostitusi.
Sementara salah satu upaya pemerintah Jakarta menaggulangi prostitusi adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Namun, berbagai upaya tersebut belum berhasil memberantas prostitusi, karena upaya yang ditempuh cenderung bersifat instant, tidak pernah menyentuh pemecahan persoalan yang sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka untuk tidak kembali ke dunia prostitusi.


DAFTAR PUSTAKA

Azuma, Yoshifumi, Abang Beca. Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Masih Lebih Kejam Ibukota. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Hadiz, L. S. Aripurnami, S.Sabaroedin, “Perempuan dan Industri Seks” dalam INFID (ed.), Pembangunan di Indonesia,Memandang dari Sisi Lain. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993.

Hull, Terence H., Endang Sulistyaningsih, dan Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar