“Perkembangan Prostitusi di Jakarta pada Awal Abad XX”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada tahun
1930 dunia mengalami
krisis ekonomi, di mana efeknya begitu besar di Hindia Belanda. Akibat krisis
ekonomi tersebut, sebagian besar aktifitas perekonomian mengalami gangguan yang
serius. Kondisi tersebut
juga berpengaruh
pada lapangan pekerjaan
di Hindia Belanda. Krisis tersebut mengakibatkan berbagai
persoalan menyangkut upaya untuk tetap mendapatkan penghasilan agar tetap dapat
survive dalam kondisi perekonomian yang serba sulit itu. Salah satu gejala yang
kemudian tampak cenderung meningkat adalah berkembangnya aktivitas prostitusi
di pusat-pusat perekonomian
yang sedang goyah, termasuk di Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia
Belanda.
Tahun 1959 terjadi pergantian sistem politik di Indonesia,
yaitu dari demokrasi Parlementer ke demokrasi Terpimpin. Pergantian sistem politik itu
secara langsung memang tidak ada pengaruhnya dengan perkembangan prostitusi di
Jakarta, namun berbagai situasi sosial dan ekonomi yang serba sulit sejak
kemerdekaan hingga memasuki akhir tahun 1950an, yang ditandai dengan banyaknya
pengangguran dan kemiskinan, setidak-tidaknya memberikan asumsi bahwa proses
politik yang terjadi ikut mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi ada. Selain
itu, sejak tahun 1950an mulai terjadi arus urbanisasi ke Jakarta seiring dengan
perkembangan kota Jakarta dan adanya proses nasionalisasi perusahaan asing di
Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan
pekerjaan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan di Jakarta, di
antaranya masalah prostitusi.
Jadi makalah
ini berusaha
mengkaji sejarah dan perkembangan prostitusi di Jakarta seiring dengan
perkembangan dan berbagai perubahan yang terjadi di Jakarta pada kurun
1930-1959. Makalah ini
membahas persoalan-persoalan
yang melatarbelakangi perkembangan prostitusi, bentuk-bentuk prostitusi,
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan prostitusi, akibat yang ditimbulkan
oleh aktifitas prostitusi, dan berbagai upaya untuk menanggulangi prostitusi.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
perkembangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX?
2.
Apa
saja faktor-faktor penyebab prostitusi di Jakarta pada awal abad XX?
3.
Bagaimana
dampak dan upaya penanggulangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
perkembangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX.
2.
Mengetahui
faktor-faktor penyebab prostitusi di Jakarta pada awal abad XX.
3.
Mengetahui
dampak dan upaya penanggulangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan prostitusi di Jakarta pada awal abad XX
1.
Perkembangan Prostitusi Masa Kolonial Belanda
Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal
penjajahan Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia
lebih sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu. Bahkan, sejak masa J.P.
Coen pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi walaupun secara tegas ia
tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu.
Seiring dengan perkembangan ekonomi dan fisik kota
Jakarta, serta peran dan posisi Jakarta sebagai pusat pemerintahan Hindia
Belanda, maka tempat-tempat pelacuran pun juga mengalami perkembangan dan
bergeser, misalnya kemudian berkembang tempat pelacuran kelas rendah di sebelah
timur Macao Po (sekitar jalan Jakarta sekarang), yang saat itu bernama Gang
Mangga. Tempat ini cukup terkenal sebagai salah satu tempat berlangsungnya
kegiatan prostitusi.
Faktor kurangnya jumlah perempuan dibandingkan
dengan prianya, misalnya selama periode 1860-1930, merupakan alasan logis
meningkatnya permintaan jasa prostitusi, sehingga praktek-praktek prostitusi
berkembang semakin pesat di masa kolonial Belanda. Selain itu, kondisi
perekonomian yang stagnan dan cenderung memburuk pada dasawarsa 1930an ketika
terjadi krisis ekonomi turut pula mempengaruhi seorang perempuan dalam
menentukan keputusan untuk terjun ke dunia prostitusi. Kemiskinan merupakan
kondisi tak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia selama masa penjajahan.
Sebagaimana diketahui, memasuki dasawarsa 1930an, kekuasaan Belanda di
Indonesia mulai
mengalami tekanan ekonomi, terlebih saat krisis ekonomi melanda dengan
dahsyatnya pada tahun 1930.
Depresi ekonomi yang mulai terasa pada pertengahan
tahun 1920an di antaranya disebabkan oleh jatuhnya harga-harga komoditi
internasional seperti gula dan kopi, sehingga berdampak pada menurunnya
aktivitas ekspor dan impor yang pada akhirnya juga berpengaruh pada
berkurangnya kesempatan kerja. Berkurangnya kesempatan kerja secara otomatis
meningkatkan jumlah pengangguran. Dengan demikian, kita dapat berasumsi bahwa
prostitusi yang berkembang di Jakarta pada dasawarsa 1930an ini lebih
didominasi oleh faktor kesulitan ekonomi akibat terjadinya krisis ekonomi.
2. Perkembangan Prostitusi Masa Jepang
Penjajah Jepang sebagai ganti kekuasaan Belanda di
Indonesia, menjalankan pemerintahan dengan sangat represif. Keadaan ekonomi
penduduk sangat parah, sebab segala hasil produksi ditujukan untuk kepentingan Jepang.
Jepang juga mengerahkan tenaga rakyat secara paksa yang disebut romusha, untuk
membangun prasarana perang, lapangan udara, dan jalan raya. Kemiskinan dan
kelaparan terjadi di mana-mana. Banyak penduduk yang hanya berpakaian dari kain
goni, sehingga berbagai penyakit kulit diderita oleh penduduk.
Selama Jepang menduduki Indonesia, secara fisik
dapat dikatakan bahwa Jakarta sama sekali tidak mengalami perkembangan, namun
prostitusi dan komersialisasi seks terus berkembang selama pendudukan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang inilah disinyalir terjadi eksploitasi dan kekerasan
seksual terhadap perempuan dan juga ada jaringan perdagangan perempuan untuk
dijadikan pelacur. Indikasi ini terkait dengan banyaknya perempuan yang tertipu
atau dipaksa memasuki dunia prostitusi. Bangsa Jepang menawarkan pendidikan dan
kehidupan yang lebih baik di Tokyo atau kota-kota Indonesia lainnya kepada
sejumlah perempuan. Banyak perempuan yang tertarik dengan tawaran itu dan
dibawa dan ditampung ke daerah-daerah
sekitar pelabuhan Semarang, Surabaya dan Jakarta (Tanjung Priok). Dalam
kenyataanya mereka dipaksa melayani hasrat seks para serdadu dan perwira Jepang
serta dilarang meninggalkan rumah bordil.
Pada umumnya perempuan yang tertipu dan dipaksa
menjadi pemuas nafsu tentara Jepang (belakangan mereka dikenal sebagai Jugun
Ianfu) itu berasal dari latar belakang keluarga pegawai pangreh praja yang
takut kehilangan pangkat dan jabatannya. Janji-janji untuk disekolahkan ke luar
negeri tidak disiarkan melalui surat kabar, tetapi dari mulut ke mulut yang
ditangani oleh Sendenbu (Jawatan propaganda). Pada masa Jepang, pangreh praja
tunduk melaksanakan perintah Sendenbu. Sebagai konsekuensinya, para pangreh
praja (dari
bupati sampai lurah) harus
memberi contoh menyerahkan anaknya.
Masalah
kelangkaan lapangan pekerjaan sebagai akibat situasi ekonomi yang sulit pada
masa Jepang menjadi alasan utama para perempuan mudah dijebak dengan
iming-iming mendapatkan pekerjaan untuk meringankan beban hidup keluarga.
3. Perkembangan Prostitusi Pasca
Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, aktivitas dan
perkembangan prostitusi terus tumbuh dengan subur. Alasan ekonomi merupakan
kondisi yang patut diperhatikan di sini sebab pada masa-masa awal Indonesia
merdeka kondisi perekonomian bangsa Indonesia memang masih memprihatinkan.
Pada
tahun 1950an sampai 1960an terdapat banyak tempat prostitusi yang tumbuh subur
di Jakarta, seperti di Jalan Halimun, antara Kali Malang (dekat markas CPM
Guntur) hingga Bendungan Banjir Kanal. Di malam hari kawasan sekitar stasiun
kereta api Senen menjelma menjadi pasar seks. Tidak mengherankan jika pada
pertengahan tahun 1950an pelacuran kelas bawah terjadi di gerbong-gerbong
kereta api atau di rumah-rumah dari kotak kardus di sekitar stasiun Senen.
Selain di kawasan stasiun Senen, kawasan Bongkaran
Tanah Abang juga menjadi tempat kegiatan prostitusi kelas bawah yang telah
terkenal sejak dulu, di mana kebanyakan konsumennya adalah para sopir, buruh,
dan pekerja kasar lainnya.
B. Faktor-Faktor Penyebab Prostitusi
Salah satu faktor penyebab maraknya praktek
prostitusi di Jakarta dalam tiga lintas kekuasaan adalah kemiskinan. Kondisi
ekonomi penduduk pribumi pada masa kolonial umumnya dalam keadaan subsisten,
karena sebagian tanah mereka disewa untuk ditanami tanaman komoditi eksport.
Ketika depresi ekonomi memuncak pada sekitar tahun
1930, kondisi sosial dan perekonomian penduduk Jakarta terguncang hebat karena
banyak buruh dan tenaga kerja kehilangan pekerjaan akibat banyak perusahaan yang bangkrut, sehingga
angka pengangguran pun membengkak. Dengan kondisi sosial dan perekonomian
seperti itu.
Tidaklah
mengherankan jika aktivitas prostitusi di Jakarta cenderung meningkat karena
desakan ekonomi. Di tempat-tempat yang merupakan pusat kegiatan perdagangan
maupun perekonomian seperti perkebunan, industri/pabrik, dan pelabuhan— seperti
halnya Batavia—sering dijumpai praktik-praktik prostitusi yang sulit
terkontrol.
Faktor lain penyebab perkembangan prostitusi
di Jakarta adalah tingginya arus urbanisasi ke Jakarta. Memasuki masa awal
kemerdekaan, keberadaan, posisi, serta peran ibukota Jakarta memang mempunyai
arti sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Kondisi perekonomian yang
masih memprihatinkan dan tingginya arus urbanisasi penduduk ke ibukota Jakarta
pada tahun 1950an, lebih-lebih sejak 1959 perkembangan ibukota menjadi bagian
politik mercu suar yang bertujuan membuat RI sebagai inti dari The New
Emerging Forces, mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk dengan berbagai
eksesnya, seperti kurangnya lapangan kerja, pemukiman, pertanahan, dan masalah
sosial dengan tingkat kerawanan tinggi, termasuk perkembangan prostitusi.
C.
Dampak Prostitusi dan Upaya Penanggulangannya
Meningkatnya jumlah penderita penyakit kelamin
adalah dampak utama dari adanya praktek-praktek prostitusi, terutama bentuk
prostitusi liar. Walaupun data tentang peningkatan jumlah penderita penyakit
kelamin pada masa Jepang belum ditemukan, namun melihat dari praktek prostitusi
pada zaman Jepang yang terorganisir secara rapi, dapat diasumsikan bahwa tetap
ada tentara Jepang yang menderita penyakit kelamin, walaupun mungkin tidak
sebanyak masa sebelumnya. Setelah kemerdekaan pun penyakit kelamin tetap
berkembang dan sulit dibrantas. Penyakit kelamin yang banyak diidap pada masa
tahun 1950an sampai 1960an adalah sipilis.
Sebenarnya pemerintah DKI Jakarta telah menempuh
berbagai upaya untuk mengatasi masalah pelacuran dan akibat yang
ditimbulkannya, diantaranya dengan sering mengadakan rasia oleh trantib untuk
menangkap dan kemudian memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun
cara itu tidak efektif menekan perkembangan prostitusi. Upaya serius dan riil
pemerintah daerah Jakarta dalam rangka menekan pertumbuhan prostitusi, yang
tentu saja bila berhasil akan menekan pula laju jumlah penderita penyakit
kelamin, adalah dengan menetapkan Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi
pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan kemudian diperkuat dengan SK Gubernur
Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta
Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos
Ju/1973.
Namun, upaya-upaya tersebut belum mampu menghentikan
atau mengurangi praktik prostitusi, karena upaya yang ditempuh lebih cenderung
bersifat instant—membongkar atau merazia tempat-tempat prostitusi dan kemudian
menangkapi para pelacur–dan tidak pernah berupaya memecahkan persoalan yang
sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka
untuk tidak kembali ke dunia prostitusi.
Selain
itu, kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang menikmati
jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu tidak merasa
jera.
BAB III
KESIMPULAN
Praktik-praktik
prostitusi di Jakarta sudah ada sejak masa awal kekuasaan Hindia Belanda, dikarenakan
jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih sedikit dibandingkan jumlah
prianya. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, terutama abad XIX, pemerintah
Hindia Belanda menganggap perlu adanya upaya penyegaran dan hiburan bagi
tentaranya dengan mengijinkan mereka untuk pergi ke tempat-tempat pelacuran
guna menghilangkan stres dan rasa jenuh.
Selain pemerintah
Pendudukan Tentara Jepang, para aparat desa pun turut terlibat dalam perekrutan
perempuan-perempuan Indonesia untuk dijadikan pelacur pada masa Jepang. Kondisi
politik dan perkonomian penduduk Indonesia yang tidak menentu sepanjang masa
revolusi fisik, menyebabkan sebagian rakyat hidup miskin. Karena semakin
sempitnya lahan pertanian di kampung dan adanya keinginan untuk mendapat
pekerjaan yang mudah di kota, mendorong penduduk desa melakukan urbanisasi ke
kota Jakarta. Adapun arus urbanisasi yang sangat tinggi ke Jakarta pada tahun
1950an semakin memantapan eksistensi praktek-praktek prostitusi, karena semakin
banyak permintaan akan jasa layanan seks. Berbagai upaya upaya telah dilakukan
untuk menghilangkan atau mengurangi praktik-praktik prostitusi.
Sementara salah satu
upaya pemerintah Jakarta menaggulangi prostitusi adalah dengan menetapkan
Kramat Tunggak sebagai tempat relokasi pelacur di Jakarta pada tahun 1970 dan
kemudian diperkuat dengan SK Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No.
Ca.7/1/54/1972; SK Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota
Jakarta Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973.
Namun, berbagai upaya
tersebut belum berhasil memberantas prostitusi, karena upaya yang ditempuh
cenderung bersifat instant, tidak pernah menyentuh pemecahan persoalan yang
sebenarnya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin mereka
untuk tidak kembali ke dunia prostitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Azuma,
Yoshifumi, Abang Beca. Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Masih Lebih Kejam Ibukota.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Hadiz, L. S.
Aripurnami, S.Sabaroedin, “Perempuan dan Industri Seks” dalam INFID (ed.),
Pembangunan di Indonesia,Memandang dari Sisi Lain. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia 1993.
Hull, Terence
H., Endang Sulistyaningsih, dan Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia: Sejarah
dan Perkembangannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.